Page 126 - Sang Pemimpi by Andrea Hirata (z-lib.org)
P. 126

Tak  perlu  belajar  matematika  sampai  ke  SMA  hanya  untuk
              menghitung  semua  rencana  masa  depan  yang  kami  gantungkan  pada
              tabungan  uang  receh,  setelah  dikurangi  membantu  keluarga  membeli
              sembako, adalah tak masuk akal. Kami tahu banyak orang yang memiliki
              sumber  daya  membuat  rencana  yang  detail  dan  realistis:  pengeluaran
              untuk  kuliah,  hidup, mudik, dan entertainment, termasuk  pos luar biasa
              jika sakit misalnya.  Rencana itu dibuat rapi  untuk lima tahun, ditambah
              cadangan konservatif selama dua  tahun sebagai  statistic  rata-rata waktu
              sarjana Indonesia menganggur setelah lulus kuliah..
                  Namun.  dari  tempat  aku,  Jimbron,  dan  Arai  berdiri  rencana
              konvesional  itu  tidak  berlaku.  Karena  kami  adalah  para  pemimpi.
              Seandainya  tidak  dipakai  untuk  sekolah  pun,  tabungan  itu,  yang
              dikumpulkan selama tiga tahun dari  bekerja sejak pukul dua pagi setiap
              hari memikul ikan, tak’kan cukup untuk membuat kami hidup lebih dari
              setahun. Dan dari tempat kami hidup lebih dari setahun. Dan dari tempat
              kami  berdiri,  di  Pulau  Belitong  yang  terpencil  dan  hanya  berdiameter
              seratus  lima  puluh  kilometer  ini,  cita-cita  kami  sekolah  ke  Prancis,
              menjelajahi  Eropa  sampai  ke  Afrika  adalah  potongan-potongan  mozaik
              yang  tak  dapat  dihubungkan  dengan  logika  apapun,  bahkan  dengan
              pikiran yang paling gila sekalipun..
                  Namun,  sekarang  aku  memiliki  filosofi  baru  bahwa  berbuat  yang
              terbaik  pada  titik  dimana  aku  berdiri,  Itulah  sesungguhnya  sikap  yang
              realistis.  Maka  sekarang  aku  adalah  orang  yang  paling  optimis.  Jika
              kuibaratkan semangat manusia sebuah kurva, sebuah grafik, maka sikap
              optimis  akan  membawa  kurva  itu  terus  menanjak.  Sebaliknya  aku
              semakin  terpatri  dengan  cita-cita  agung  kami:  ingin  sekolah  ke  Prancis,
              menginjakkan kaki di altar suci Almamater Sorbonne, menjelajahi Eropa
              sampai ke Afrika. Tak pernah sedikit pun terpikir untuk mengompromikan
              cita-cita itu..
                  Paling tidak,  karena tenaga dari optimisme, pada  pembagian rapor
              terakhir  saat  tamat  SMA  Negeri  Bukan  Main  hari  ini,  aku  kembali
              mendudukkan  ayahku  di  kursi  nomor  tiga.  Arai  melejit  ke  kursi  dua.
              Tidaklah terlalu buruk keadaan kami di antara seratus enam puluh siswa.
              Adapaun  Jimbron  sedikit  membaik  prestasinya,  dari  kursi  128  menjadi
              kursi 47. Nurmala karatan di kursi nomor satu sejak kelas satu. Mendapati
              Arai  cengengesan  di  sampingnya  Nurmala  memandang  kaku  lurus  ke

                                          124
              -Sang Pemimpi-                                                                                                                     ADEF
   121   122   123   124   125   126   127   128   129   130   131