Page 132 - Sang Pemimpi by Andrea Hirata (z-lib.org)
P. 132

pengorbanan  Jimbron  untuk  kami.  Kami  berjanji  akan  menuliskan
              namanya  di  tanah,  di  gedung,  di  pohon,  di  jalan,  kemana  pun  kami
              sampai..


                                       **********

              Ketika berpisah, ayahku memeluk Arai dan mendesapku kuat sekali. Tak
              ada  kata-kata  untuk  kami,  hanya  senyum  lembut  kebanggaan,  dan
              matanya berkaca-kaca. Beliau kehilangan karena tak pernah sebelumnya
              kami  meninggalkannya.  Pak  Balia  memberikan  padaku  sebuah  gambar
              yang  selalu diperlihatkannya di depan kelas:  pelukis,  menara Eiffel, dan
              Sungai  Siene.  Beliau  diam  saja  dan  aku  mengerti  maksudnya.  Prancis
              bukan hanya impianku dan Arai tapi juga impian sepi beliau..
                  “Jangan  pernah  pulang  sebelum  jadi  sarjana...  .  ,  “pesan  Ibu
              Muslimah,  guru  SD-ku.  Di  samping  beliau  Pak  Mustar  mengangguk-
              angguk.  Mereka  tersenyum  ketika  kami  menyalami  mereka  erat-erat
              karena  mereka tahu itu  pertanda  kami menerima  tantangan itu:  tak’kan
              pernah pulang ke Pulau Belitong sebelum jadi sarjana..
                  Aku dan Arai memeluk celengan kuda dan berdiri di haluan waktu
              kapal  menarik  sauh.  Pelan-pelan  kapal  hanyut  meninggalkan  dermaga.
              Kulihat  dari  jauh  los  kontrakan  kami,  bioskop,  pasar  ikan,  Toko  Sinar
              Harapan,  pabrik  cincau,  dan  orang-orang  yang  tak  berhenti  melambai
              kami:  ayah-ibuku,  sahabat-sahabat  SD-ku  para  anggota  Laskar  Pelangi,
              Jimbron,  Pak  Balia,  para  penjaga  sekolah,  puluhan  kolega  sesama  kuli
              ngambat, Mahader, A Kiun, Pak Cik Basman tukang sobek karcis, Taikong
              Hamim, Capo, Pak Mustar, Bang Zaitun, Pendeta Geovanny, dan Laksmi.
              Ramai  sekali  pengantar  kami  tapi  mereka  hanya  diam.  Mereka
              bergandengan tangan melepas dua anak pulau yang akan mengadu nasib
              ke  Jawa.  Hatiku  menjadi  dingin,  pipi  kami  basah,  betapa  kami  akan
              merindukan mereka..
                  Matahari merah turun di belakang jajaran pohon bakau ketika kami
              keluar  dari  Semenanjung  Ayah,  terlepas  bebas  dari  teluk  yang  sempit
              berliku-liku. Bentangan gelombang membentuk anak panah ketika lunas
              kapal membelah permukaan  sungai  cokelat yang tenang. Warna cokelat
              itu  pelan-pelan  berubah  menjadi  kelabu  saat  kapal  mengarungi  muara,
              dan  pudar  diisap  warna  biru  karena  kami  telah  menembus  Laut  Cina
              Selatan..
                  Dari jauh masih kulihat orang-orang melambai. Semakin lebar laut
              memisahkan  kami,  semakin  mengembang  ruang  hampa  dalam  hatiku.
              Tangan  mereka  mengalun  seperti  pelepah-pelepah  nyiur.  Kupandangi

                                          130
              -Sang Pemimpi-                                                                                                                     ADEF
   127   128   129   130   131   132   133   134   135   136   137