Page 134 - Sang Pemimpi by Andrea Hirata (z-lib.org)
P. 134

Di  kapal  ini  satu  jam  rasanya  seperti  setahun.  Berhari-hari  hanya
              warna  biru.  Belum  apa-  apa  aku  sudah  rindu  pada  Belitong,  pada
              Jimbron,  pada  Pangeran,  dan  pada  Ayahku.  Betapa  mengerikannya
              berada  di  tengah  samudra.  Apa  yang  ada  dalam  pikiran  mereka  yang
              memutuskan  bekerja  di  laut?  jawabannya  adalah  pertanyaan  dari  para
              pelaut: apa  yang di  pikiran  mereka  yang  memutuskan bekerja di darat?
              Jika badai datang, aku dan  Arai  muntah  hingga tak ada lagi  yang  bisa
              dimuntahkan  sehingga  yang  keluar  hanya  cairan  kuning  yang  pahit.
              Istilahnya muntah  kuning. Dalam keadaan ini, mau dilemparkan  ke  laut
              pun sudah tak berdaya melawan. Muntah kuning adalah puncak tertinggi
              prestasi  mabuk  laut.  Jika  sudah  muntah  kuning,  kami  bolak-balik  ke
              kamar  radioa,  menjengkelkan  Markonis  dengan  terus-terusan
              menanyakan  berapa  lama  lagi  kami  akan  sampai  ke  Jakarta?  kami
              merasa sedikit mendingan jika mualim menggosok kami dengan minyak
              kayu  putih  dan  sedikit  teknik  pijatan  yang  biasa  diterapkannya  jika
              mendempul perahu. Salut juga ia denan kami yang tahan banting..
                  “Kalau  kalian  bisa  bertahan  di  kapal  ini,  kalian  akan  mampu
              bertahan di Jakarta, “ucapannya sungguh membesarkan hati..
                  Hari  keenam,  pukul  satu  siang,  aku  yang  sudah  babak  belur,
              compang-camping,  iseng-iseng  mendongakkan  kepala  keluar  lubang
              palka dan alangkah terkejutnya,  nun jauh disana, sayup-sayup, di  garis
              horizon  biru  itu  kulihat  benda  kotak-kotak  bermunculan  timbul
              tenggelam..
                  Aku melompat dan berteriak sejadi-jadinya..
                  “Araiiiii... . Jakartaaaaaaaaa... . .
                  “Arai  yang  sedang  mengaduk  sayur  nangka  di  dalam  dandang
              langsung kabur menghampiriku. Wajahnya takjub memandang jauh pada
              barisan kotak yang semakin dekat. Ia melonjak dan memelekku erat-erat.
              Kami cepat-cepat menyelesaikan masakan lalu mandi. Berulang kali kami
              mengintip kotak-kotak yang rupanya bangunan-bangunan tinggi Jakarta.
              Semua  perasaan  mual  dan  lelah  menguap  karena  ekstase  akan  segera
              sampai di Jakarta..
                  Kami memakai pakaian terbaik kami. Kunjungan ke ibu kota tak bisa
              dengan sembarangan saja. Presiden tinggal di situ. Ini peristiwa penting.
              Aku  berbaju safari  empat  saku  hadiah dari ayahku. Bersepatu, menyisir
              rambutku setelah mengaduknya dengan Tancho. Aku tersenyum-senyum
              sendiri pada cermin. Aku menyemprotkan minyak wangi ke lokasi-lokasi
              yang  masuk  dalam  radius  jangkauan  penciuman  orang-orang  terdekat,
              mempersiapkan koper besarku, dan menjinjing celengan kuda..
                  Arai  melakukan  hal  yang  sama,  Sepatu  pantofelnya  berkiliaun
              karena disemir tebal. Siang itu panas sekali tapi baju Arai dua lapis. Baju

                                          132
              -Sang Pemimpi-                                                                                                                     ADEF
   129   130   131   132   133   134   135   136   137   138   139