Page 133 - Sang Pemimpi by Andrea Hirata (z-lib.org)
P. 133

pulau kecilku yang porak poranda karena kerakusan manusia. Semuanya
              ada  di  situ:  ayah  ibuku,  sanak  keluargaku,  sahabat,  guruku,  kebanggaa
              dan  jati  diriku,  tangis  dan  tawaku,  inang  nasibku,  dan  semua  perasaan
              sayang yang ada dalam hatiku. Barisan  pohon santigi mengajak  hnggap
              burung-burung  punai  samak,  bersambung  dengan  padang  ilalang  yang
              bergelombang digelayuti burung-burung  pipit, lalu  perdu apit-apit,  jalan
              setapak, rumah panggung, pelanduk, buah bintang, telaga air payau, dan
              batu-batu purba yang mempan dimakan waktu, yang lebih liat dari sang
              waktu  itu  sendiri.  Pulau  Belitong  tumpah  darahku,  terapung  samudra
              dahsyat  yang  bergelora  mengurungmu,  Belitong  yang  kukuh  tak
              terkalahkan, kapankah aku akan melihatmu lagi?.
                  BINTANG  LAUT  SELATAN  telah  dipeluk  samudra.  Nakhoda
              menghidupkan mesin utama dan di buritan kulihat luapan buih melonjak-
              lonjak karena tiga baling-baling raksasa menerjang air. Aku disergap sepi
              di tengah bunyi gemuruh dan aku berpegang erat pada besi pagar haluan
              saat  kapal  mulai  diayun  ombak  musim  barat,  kepalaku  tak  berhenti
              mengingat  satu kata:  Ciputat.  Pelayaran kami tak’kan  pernah  kulupakan
              karena  itulah  empat  hari,  secara  terus-menerus,  detik  demi  detik,  kami
              didera  siksaan.  Siksaan  pertama  karena  kami  telah  mabuk  ketika  baru
              beberapa jam  berlayar.  Penyebabnya  gelombang  yang besar dan dapur
              kapal yang jorok luar biasa, ditambah bonus aroma tengik dari gunungan
              kelapa  busuk,  yang  disebut  kopra.  serta  dari  berton-ton  karet  mentah
              yang dimuat dalam kapal. Mabuk juga disumbangkan oleh lagu “Senja di
              Kaimana”yang  berpuluh-puluh  kali  diulang  oleh  nakhoda  yang  telah  di
              sekap penyakit obsesif kompulsif pada lagu itu..
                  Sampai lima hari berikutnya kami mabuk terus menerus. Dan dalam
              penderitaan itu  kami harus mengepel dek dan  palka, membersihka WC,
              dan  memasak  empat kali  sehari, Lagi  pula  nakhoda rewel sekali dalam
              soal  makanan.  Alisnya  mengerut  jika  sedikit  saja  sayuran  keasinan.
              Sedangkan kami memaksakan diri makan terus-menerus karena makanan
              itu akan termuntahkan terus-menerus. Ajaib sekali aku dan Arai tidak sakit
              dan  masih  terus  bersemangat  melakukan  kewajiban  kami  sebagai
              kompensasi menumpang kapal ternak ini. Itulah, Kawan, kalau mau tahu
              tenaga  dari  optimisme,  tenaga  dari  ekstrapolasi  kurva  yang  menanjak,
              tenaga dari mimpi-mimpi..
                  Jika  kami  keluar  palka  untuk  menghirup  udara  segar,  maka  kami
              semakin  pusing  karena  yang  terlibat  hanya  horizon  buih,  bahkan  kaki
              langit  tak tampak, hanya  biru, dan  biru,  lalu silau menusuk mata.  Kami
              seperti  tak’kan  pernah  mencapai  tujuan.  Kami  seperti  hanya  diam  di
              tempat, tercepuk-cepuk dalam sebuah cawan raksasa berisi air biru. Kami
              seperti telah salah arah, tersasar ke planet air yang tak memiliki daratan..

                                          131
              -Sang Pemimpi-                                                                                                                     ADEF
   128   129   130   131   132   133   134   135   136   137   138