Page 135 - Sang Pemimpi by Andrea Hirata (z-lib.org)
P. 135

dalamnya adalah kaus tebal lengan panjang pas badan berwarna kuning
              tua  mencolok  dengan  kerah  bergendat-gendat  menutupi  seluruh  leher
              sampai ke dagu, seperti kaus orang pada musim salju..
                  Keren  bukan  main  kaus  itu,  khusu  dibeli  Arai  di  Tanjong  Pandan
              untuk  kunjungan  ke  Jakarta  ini.  Lengan  kaus  itu  bersetrip  hijau  besar
              seperti  baju olahraga dan di  bagian dadanya ada tulisan asyoi, dengan
              huruf yang diukur berseni seperti kaligrafi. Baju luar Arai adalah jas tebal
              berwarna  cokelat  hibah  dari  Taikong  Hamim.  Jas,  yang  berbau  sedikit
              apek  itu,  biasa  Taikong  pakai  jika  menjadi  khatib  jumat.  Ketika
              melangkah, Arai tampak seperti seorang duta besar. Arai juga menjinjing
              koper  besar  dua  kunci  di  tangan  kanannya  berjalan  dengan  anggun
              menuju haluan..
                  Para anak buah kapal  cekikikan melihat kami tapi kami tak  peduli.
              Kami berdiri tegak di hidung haluan, menantang panasnya sinar matahari
              pukul dua  siang,  siap menyongsong  jakarta. Dari waktu  ke waktu  kami
              menunggu  tapi  bayangan kotak-kotak itu  masih  seperti  beberapa waktu
              yang  lalu.  Semakin  lama  tetap  saja  tak  berarti.  Kami  terpanggang
              matahari.  Tancho  di  kepalaku  mulai  meleleh.  Keringat  mengucur  deras
              dan kami kelelahan berdiri. Arai membuka jasnya. Kami duduk bersandar
              pada  tiang  besi  pagar  haluan.  Kami  baru  sadar,  dan  itulah  yang
              ditertawakan pada ABK, Jakarta sebenarnya masih sangat jauh..
                  Setelah empat jam, menjelang magrib, baru kapal merapat. Aku dan
              Arai  berdiri  tegak  di  haluan  dan  gemetar  melihat  demikian  banyak
              manusia  di  Tanjung  Priok.  Tua  muda,  laki-  laki  dan  perempuan,  hilir
              mudik, bergerak-gerak cepat kesana kemari. Tak jelas apa urusannya..
                  “Selamat  datang  di  Jakarta,  Boi”kata  kelasi  yang  berbaju  seperti
              baju  Donald  Bebek  sambil  menibar  sebongkah  besi  tambatan  kapal  di
              bibir  dermaga.  Kami  tak  peduli  pada  ucapannya  karena  tegang  akan
              menginjak  Jakarta.  Aku  memegang  koper  dan  celengan  kuda  erat-erat.
              Kapal merapat ke bibir dermaga lalu kelasi tadi menibar jalinan jala yang
              disambut dua orang di bawah. ia memberi isyarat pada kami agar turun.
              Kami  melemparkan  koper-koper  kami  ke  atas  jala  itu  dan  merayap  ke
              bawah. Dengan Basmallah, kami menginjak Jakarta. Nakhoda dan para
              ABK  berkumpul  di  haluan,  melambai-lambaikan  tangannya.  Lima  hari
              yang mengesankan dengan mereka..
                  “Hati-hati di Jakarta, Boi...
                  “kata nakhoda..
                  “Kalau tak sanggup di Jakarta,  bulan Juli ke sini lagi, kami angkut
              lagi ke Belitong!! “seru mualim..
                  Aku dan Arai melangkah pergi. Masih kami dengar teriakan mualim
              yang  samar  karena  tertelan  bunyi  peluit  kapal  dan  ingar-bingar  ratusan

                                          133
              -Sang Pemimpi-                                                                                                                     ADEF
   130   131   132   133   134   135   136   137   138   139   140