Page 138 - Sang Pemimpi by Andrea Hirata (z-lib.org)
P. 138

Di ambang pintu masuk ada patung seorang bapak yang gendut. Ia
              bertongkat  dan  berkacamata.  Ia  juga  berjas  seperti  Arai,  bedanya  ia
              memakai dasi kupu-kupu. Ia tampak kaya raya. Namun, patung itu tidak
              memiliki  tekstur  warna.  Hanya  putih  saja,  terutama  pada  bagian
              wajahnya.  Dengan  warna  polos  begitu,  pastilah  perancang  patung  ini
              berusaha menghilangkan seringai kapitalis dari wajah bapak itu..
                  Aku dan  Arai  masih  terpaku, tak  mampu mengalihkan  pandangan
              dari  toko  yang  indah  seperti  istana  peri  ini.  Akhirnya,  kami  duduk  di
              pinggir  jalan di atas koper kulit buaya kami, sambil tetap menggendong
              celengan  kuda.  Pikiran  kami  masing-masing  melayang.  Kami  tahu
              Kentucky adalah  nama sebuah tempat di Amerika tapi kami tak familiar
              dengan  kata  fried  chicken.  Mungkin  karena  masih  dipengaruhi  mabuk
              laut, maka kami tak menyadari bahwa fried adalah sebuah kata pasif. Aku
              membantah  khayalanku  sendiri  yang  menduga  tempat  itu  peternakan
              bibit  ayam  dari  Kentucky,  atau  sebuah  pabrik  pakan  ayam  model  baru
              buatan USA, atau toko untuk para kolektor ayam. Mungkin saja, karena
              orang  kota  banyak  yang tergila-gila  pada  koleksi aneh-aneh.  Sepertinya
              Arai  juga  tenggelam  dalam  angan-angannya  sendiri.  Dan  akhirnya  ia
              angkat bicara memecah lima  belas menit terakhir  hidup  kami yang lena
              dibius pesona sebuah toko..
                  “Tahukah  kau,  Ikal...  ?  “katanya  pelan  sambil  mengancingkan  jas
              warisan Taikong Hamim itu..
                  “Ini  adalah  sebuah  rumah  makan,  sebuah  restoran  khusus  untuk
              orang kaya...
                  “Oooh. . , “jawabku dalam hati..
                  “Untuk  dapat  makan,  disini  harus  dengan  perjanjian  dulu,  harus
              memesan nomor meja, paling tidak tiga hari sebelumnya! ”.
                  Masuk  akal...  ,  jawabku  dalam  hati  lagi  sambil  menggeleng-geleng
              kagum pada toko itu..
                  “Memesan  nomor  mejanya  pun  hanya  bisa  melalui  telepon!  Jika
              datang langsung tak’kan dilayani! ”.
                   Aku mengerti ia pasti mendapat semua pengetahuan itu dari cerita
              sandiwara  radio  Singapura  yang  siarannya  sering  tembus  sampai  ke
              kampung kami..
                  “Selesai makan, jangan kau kira bisa membayar dengan uang biasa!
              ”.
                  “Lalu dengan apa, Rai? ““Dengan kartu anggota!!
                  “Kalau  kukatakan  padamu  syarat  menjadi  anggota,  kau  akan
              terbelalak, Kal!
                  “Jangan  kau  sangka  gampang  menjadi  anggota  restoran  ini,  Boi...
              Antara lain harus ada bukti sering bepergian ke luar negeri naik pesawat!

                                          136
              -Sang Pemimpi-                                                                                                                     ADEF
   133   134   135   136   137   138   139   140   141   142   143