Page 140 - Sang Pemimpi by Andrea Hirata (z-lib.org)
P. 140

kali  aku  melihat  kehidupan  mahasiswa.  Apalagi  mereka  adalah
              mahasiswa  IPB,  mahasiswa-mahasiswa  pintar  yang  bermutu  tinggi.  Di
              masjid  atau  warung  mereka  bicara  tentang  ujian,  rencana  penelitian,
              bimbingan skripsi, dan praktikum. Ketika mereka bicara tentang kalkulus,
              kultur  jaringan,  teori  peluang, dan mekanika rinduku membuncah  akan
              bangku sekolah. Di babakan Fakultas aku kembali merasa seperti anggota
              garda depan.  Aku dan  Arai  tergoda pada setiao  kata-kata ilmu  mereka,
              namun  kami  sadar  belum  waktunya  kami  bergabung  dengan  civitas
              academica. Saat ini kami hanya memiliki dua tas kulit buaya. sedikit uang
              untuk  bertahan  hidup, dan dua  celengan  kuda. Tapi walaupun terbatas
              keadaan kami, kami yakin dapat kuliah. Sekarang satu per satu saja dulu,
              yaitu bagaimana agar segera dapat pekerjaan, berpenghasilan, dan dapat
              makan tiga kali sehari..
                  Dan hari-hari berikutnya adalah malam-malam tak bisa tidur dan tak
              enak makan waktu menemukan koran-koran merah yang memuat warta
              dan  gambar  penggorokan,  perampokan,  dan  pemerkosaan  di  sana  sini
              yang hampir setiap hari terjadi di kota. Demikian semaraknya kriminalitas
              di  Bogor,  Jakarta,  atau  Tangerang.  Seakan  kota-  kota  ini  akan  menjadi
              kota mati jika sehari saja tidak terjadi tindak kejahatan. Namun, anehnya
              lambat  laun  menjadi  terbiasa.  bahkan  ketika  nenek-nenek  dirampok,
              dicabuli,  dan  dibunuh,  aku  telah  menjadi  seperti  orang  kebanyakan:
              sekali  menarik  napas  panjang,  semenit  kemudian  bahkan  lupa  inisial
              nenek itu. Ini adalah kemorosotan  paling  besar  yang kutemukan dalam
              diriku dengan hidup di kota..
                  Kami tak peduli mungkin karena panik akan keadaan kami sendiri.
              Berbulan-bulan  di  Bogor,  berbekal  selembar  ijazah  SMA,  kami  tak
              kunjung  mendapatkan  pekerjaan,  Berbulan-bulan  di  Bogor,  berbekal
              selembar ijazah SMA, kami tak kunjumg mendapatkan pekerjaan. Bahkan
              hanya sekedar ingin menjadi penjaga toko susahnya minta ampun. Pada
              bulan  keempat,  dengan  sangat  terpaksa  kami  memecahkan  celengan
              kuda  Sumbawa  dan  sandel  itu.  Tebersit  perasaan  bersalahku  pada
              Jimbron. Tapi apa boleh buat, melamar kerja pun perlu biaya. Jika masih
              begini, napas kami tinggap tiga bulan di Jawa. Aku teringat pesan mualim
              untuk kembali ke Tanjung Priok pada bulan Juli jika Jawa tak bersimpati
              pada  nasib  kami. Dan  bulan Juli  masih tujuh  bulan lagi,  berarti selama
              empat  bulan  kami  harus  berhibernasi  seperti  hewan  pengerat  marmot
              yang  hidup di  Pegunungan Alpen ketika musim  salju. Hidup  hanya dari
              cadangan lemak dalam tubuh mereka. Sayangnyamkami terlalu kurus..
                  Beruntung  pada  bulan  kelima  kami  mendapat  pekerjaan  yang
              istimewa.  Karena  sang  juragan  memberi  kami  baju  seragam  yang  elok:
              Sepatu  hitam(walaupun  plastik  yang  mengilat  tapi  bisa  dibuat  semakin

                                          138
              -Sang Pemimpi-                                                                                                                     ADEF
   135   136   137   138   139   140   141   142   143   144   145