Page 136 - Sang Pemimpi by Andrea Hirata (z-lib.org)
P. 136

manusia..
                  “Ciputat, Boi. Jangan lupa Ciputat!! ”.
                  Aku  dan  Arai  terpana  melihat  kapal-kapal  besar”Kambuna,  Lawit,
              Sirimau,  dan  berbagai  nama  berujung  loyld.  Kapal  BINTANG  LAUT
              SELATAN  yang  kami  anggap  sudah  sangat  besar  tak  ada  artinya
              dibandingkan  kapal-kapal  ini.  Seperti  perbandingannya  ayam  dengan
              gajah.  Bunyi  peluti  kapal  yang  membahana  menggetarkan  dada  kami.
              Waktu  itu  pas  puncak  arus  balik  lebaran,  ratusan  orang  berseliweran
              dengan  tergesa-gesa,  hiruk  pikuk,  Kami  tak  berkata-kata  karena  serba
              terheran-heran. Kami seperti anak bebek yang tersasar ke kandang kuda.
              Lalu  suatu  gelombang  besar  manusia  yang  baru  turun  dari  kapal  yang
              sangat besar melewati kami. Kami terdesak-desak..
                  Aku  bertanya pada mereka  yang lalu lalang, “Kemana  naik bus ke
              Ciputat? “Seseorang menyuruhku mengikuti suatu rombongan  yang tak
              putus-putus.  Di  kejauhan  aku  melihat  mobil  bus  besar-besar.  Kami
              berjalan  menuju  Terminal  Tanjung  Priok,  Sampai  disana  kami  semakin
              tercengang  karena  manusia  semakin  banyak.  Di  antara  kepulan  asap
              knalpot  bus-bus  itu  kami  kebingungan.  Tiba-tiba  seseorang  merampas
              tasku dan tas Arai, kemudian melemparkannya ke dalam bus..
                  “Naik!! Naik!! perintahnya..
                  “Ke Ciputat, Pak? “Di tak menjawab, hanya menatap kami dari atas
              ke  bawah,  lalu  menarik  lagi  tas  orang  lain.  Bagi  orang  Melayu,  tak
              menjawab  berarti  setuju.  Kami  meloncat  ke  dalam  bus.  Bus  meluncur
              keluar  terminal.  Klakson  sana  sini,  berkelak-kelok  tanpa  ampun,  dan
              tancap  gas.  Kami  duduk  di  depan,  terantuk-antuk,  dan  lagi-lagi
              tercengang, melihat demikian banyak orang menjejali bus. Lalu perasaan
              heran  itu  berubah  menjadi  takjub  menyaksikan  perkampungan  kumuh
              diseputar  Pelabuhan  Tanjung  Priok.  Begitu  dahsyat  tenaga  yang  ada  di
              balik kemiskinan sehingga orang mampu hidup di atas air berwarna hitam
              membeku,  di  dalam  ruang-ruang  kardus  yang  sempit,  meminum  air
              limbah, dan menghirup udara racun..
                  Malam  turun,  Satu  per  satu  penumpang  menghilang,  bus  sepi.
              Ciputat tak kunjung sampai. Aku dan Arai yang kelelahan tertidur pulas.
              Jika  ada  yang  ingin  mengambil  koper  dan  celengan  kuda  kami,  kami
              tak’kan tahu. Tiba-tiba kami terperanjat..
                  “Bangun-bangun! Sudah sampai! “bentak seseorang..
                  Aku membangunkan  Arai.  Kami tiba di sebuah terminal  yang  jauh
              lebih sepi dari  Terminal  Tanjung Priok. Sebuah jam  yang ada di  taman
              menunjukkan  pukul  12  malam.  Rupanya  bus  telah  berhenti  lama  di
              berbagai  tempat  namun  kami  tak  sadar.  Udara  dingin  sekali.  Arai
              mengancingkan  jasnya.  Dengan  menenteng  koper  dan  celengan  kuda,

                                          134
              -Sang Pemimpi-                                                                                                                     ADEF
   131   132   133   134   135   136   137   138   139   140   141