Page 39 - Sang Pemimpi by Andrea Hirata (z-lib.org)
P. 39

membawa karung gandum dan terigu. Di perempatan Arai belok
              kiri.  Aku  masih  tak  mengerti  maksud  Arai  waktu  ia  memasuki
              pekarangan rumah Mak  Cik Maryamah.  Kami  masuk  ke  dalam
              rumah yang senyap.  Dari dalam kamar, sayup terdengar  Nurmi
              sedang  menggesek  biola.  Arai menyerahkan  karung-karung tadi
              pada  Mak  Cik.  Beliau  terkaget-kaget.  Lalu  aku  tertegun
              mendengar  rencana  Arai:  dengan  bahan-bahan  itu  dimintanya
              Mak Cik membuat kue dan kami yang akan menjualnya.
                  “Mulai sekarang, Mak Cik akan punya penghasilan! “
                  “sera Arai bersemangat.
                  Mata Mak Cik barkaca-kaca. Seribu terima kasih seolah tak
              'kan cukup baginya.
                  Tubuhku yang dari tadi  kaku karena tegang  mengantisipasi
              rencana Arai kini pelan-pelan merosot sehingga aku terduduk di
              balik  daun  pintu.  Aku  menunduk  dan  memeluk  lututku  yang
              tertekuk.  Aku  merasa  sangat  malu  pada  diriku  sendiri.  Bibirku
              bergetar menahan rasa haru pada putihnya hati Arai. Air mataku
              mengalir  pelan.  Sungguh  tak  sedikit  pun  kuduga  Arai
              merencanakan  sesuatu  yang  sangat  mulia  untuk  Mak  Cik.
              Sebuah  rencana  yang  akan  kudukung  habis-habisan.  Sejak  itu,
              aku mengenal bagian paling  menarik dari Arai, yaitu ia mampu
              melihat keindahan di balik sesuatu, keindahan yang hanya biasa
              orang temui di dalam mimpi-mimpi.
                  Maka  Arai  adalah  seorang  pemimpi  yang  sesungguhnya,
              seorang pemimpi sejati.
                  Dan  sejak  itu,  kami  naik  pangkat  dari  penebas  akar  banar
              dan pencabut rumpun purun menjadi penjual kue basah. Karena
              sasaran  pasar  kami  adalah  orang-orang  bersarung,  maka  kami
              berjualan dari perahu ke perahu.
                  Jika ada pertandingan sepak bola, kami berjualan di pinggir
              lapangan  bola.  Penghasilan  sebagai  penjual  kue  rupanya  jauh
              lebih   baik   dari   penjual   akar   banar.   Yang   paling
              menggembirakan,  Mak  Cik  tak  perlu  lagi  meminjam  beras  ke
              mana-mana. Bertahun-tahun berikutnya kami berganti dari satu
              profesi ke profesi lain untuk membantu nafkah orangtua.
                  Ketika keluar dari kamarnya, Nurmi terkejut melihat karung-

                                          37
              -Sang Pemimpi-                                                                                                                     ADEF
   34   35   36   37   38   39   40   41   42   43   44