Page 117 - JALUR REMPAH
P. 117

Produksi Rempah, Pelabuhan dan Jaringan Perniagaan di Nusantara | 103


                     Pada pertengahan abad ke-17 harga lada jatuh di pasaran Asia Tenggara
                 dan hal ini juga berdampak terhadap komoditas lain seperti penjualan
                 tekstil asal  India. Era keemasan  lada sebagai komoditas ekspor menjelang
                 abad ke-17 hampir berakhir seiring jatuhnya harga di pasaran internasional,
                 diperkenalkannya tebu sebagai tanaman ekspor, dan kembalinya pertanian
                 sebagai lahan garapan baru bagi penduduk. Lada di sisi lain juga dipandang
                 sebagai  sumber  konflik  antara  Belanda  dan  Inggris  di  wilayah  Banten,  dan
                 karena itulah pada 1620 pemusnahan atau pencabutan tanaman lada menjadi
                 suatu pilihan di  Banten dan mengganti tanaman ekspor ini dengan padi.
                 Menjelang akhir abad ke-17 keinginan untuk mengakhiri tanaman lada karena
                 berbagai sebab sebagai komoditas utama di pasar dunia hingga abad ke-16
                 menjadi kenyataan. Naiknya kekuasaan  Belanda dengan hak monopolinya
                 turut memberi andil pahit dan matinya  lada dalam perniagaan.  Jalan  lada
                 berbagai kapal Nusantara dan asing yang ramai dan berjaya sejak abad ke-13
                 ini saat menyusuri pantai timur Sumatera lalu Selat Malaka, dilanjutkan ke
                 India hingga Laut Merah, Mesir, dan Laut Tengah sebelum sampai ke Eropa
                 berangsur-angsur mulai bergeser, meredup dan mati. Hikayat Banjar secara
                 tegas mengeluhkan kehancuran  lada sebagai komoditas utama  Nusantara
                 ini sekaligus memberi penekanan pada aktivitas baru yaitu penanaman padi
                 –sesungguhnya termasuk pula tanaman tebu seperti dilakukan di  Banten.
                 Hikayat ini juga menggaris bawahi sisi buruk perniagaan lada dan akumulasi
                 yang dikumpulkan dari tata niaga lada. Pahitnya lada dalam konteks perniagaan
                 di masa lampau di seluruh perairan Nusantara tercermin dalam butir-butir
                 paragraf hikayat berikut ini:

                     Biarkan tak seorang pun di negeri ini menanam lada, sebagaimana hal itu tak
                     dilakukan di Jambi dan Palembang. Mungkin negeri-negeri ini menanamnya
                     demi uang agar bisa merengkuh kekayaan. Tak diragukan lagi bahwa mereka
                     akan tiba pada saat keruntuhannya. Yang didapat hanya perseteruan dan
                     bahan pangan akan menjadi mahal. Peraturan-peraturan akan berada dalam
                     kekacauan karena orang di kota raja tidak akan dihormati oleh penduduk
                     pedesaan; pengawal-pengawal raja tidak akan ditakuti oleh orang pedesaan….

                     Jika lebih banyak (lada yang melebihi kebutuhan rumah tangga) ditanam,
                     demi menggapai uang, bencanalah yang akan menyelimuti negeri… Perintah
                     dari kerajaan akan diabaikan karena orang-orang akan berani menentang
                     raja. 72

                       72  Lihat Reid. Opcit. Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga … Jilid 2, hlm 347; lihat pula Claude
   112   113   114   115   116   117   118   119   120   121   122