Page 116 - JALUR REMPAH
P. 116
102 | Jalur Rempah dan Dinamika Masyarakat Abad X - XVI
Dalam perniagaan lada Jambi, sebagaimana disebut di atas misalnya,
pedagang Tionghoa memainkan peran penting sebagai pedagang perantara
yang mampu menjangkau hingga ke pusat-pusat produksi lada di wilayah hulu,
juga menguasai jalur perdagangan lada ini di tingkat lokal Jambi. Para pedagang
Tionghoa membeli lada dan menukarkannya dengan tekstil kemudian menjual
lada ke negeri Cina melalui jung-jung yang datang ke pelabuhan Jambi. Salah
seorang pedagang Tionghoa yang sangat dikenal sebagai pelaku perniagaan
lada Jambi adalah Ketjil Japon atau dikenal pula sebagai Orang Kaya Sierra
Lela. Ketjil Japon bersama raja muda Jambi adalah pengekspor lada dari wilayah
Jambi. Lada Jambi dibawa melalui sungai dari hulu menuju hilir atau pelabuhan
Jambi melalui kapal-kapal kecil yang jumlahnya mencapai 100 hingga 150 kapal
dengan muatan lada sekitar 150 pikul. Lada asal Jambi ini salah satu tempat
tujuan penjualannya adalah pelabuhan Jepara, dan dari Jepara kemudian
diangkut beras dan garam menuju Jambi. Dalam hal ini, Jepara juga menarik
minat para pedagang Cina untuk datang dan melakukan transaksi bisnis
pembelian lada karena pertukaran antarkomoditas utama dalam perniagaan
terjadi di kota ini. Inilah alasan mengapa posisi Jepara menjadi penting sebagai
titik pertemuan antarsaudagar berbagai bangsa, tak terkecuali para pedagang
Cina itu. 69
Pada abad ke-16 dan abad ke-17 misalnya, lada menempati peringkat
penting komoditas yang diekspor dari kawasan Asia Tenggara. Pada abad
ke-16, Sumatera menjadi pemasok kebutuhan lada untuk Eropa dan Laut
Tengah, yang sebelumnya juga dipasok dari India. Sekitar tahun 1600,
70
Sumatera, Semenanjung Malaya dan bagian barat Jawa (Banten) seluruhnya
menghasilkan 4.500 ton lada. Banten sebagai produsen lada di bagian barat
Jawa menghasilkan rata-rata sekitar 2000 ton lada per tahun. Selain di Jambi
dan juga Banten, lada juga ditanam di Semenanjung Malaya (Kedah, Patani,
Songkha, Pahang), juga Banjarmasin. Seluruh produksi lada itu mencapai 6000
ton pada 1630 dan mencapai lebih dari 8000 ton pada 1670. Pada pertengahan
abad ke-17, Belanda dan Inggris membeli lada asal India dalam jumlah kecil
karena lada asal Indonesia lebih murah dan berlimpah di pasaran. 71
69 Lihat Meilink-Roelofsz, Asian Trade and European Influence, hlm 259 dan 288.
70 Lihat Reid. Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga … Jilid 2, hlm 4-5, 10, 12.
71 Lihat Reid. Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga … Jilid 2, hlm 13-14.