Page 50 - MENJADI GURU SEJAHTERA TANPA UTANG-
P. 50
menghadiri hajatan. Kalau untuk makan dan sandang kami
masih bisa berhemat, tetapi untuk keperluan lumrah dengan
teman‐teman kantor itulah yang mungkin terasa sedikit
memberatkan. Kami tetap memegang kesepakatan awal
menikah dulu, hindari utang, apapun yang terjadi. Kami tetap
berusaha teguh hati untuk tidak tergoda utang untuk
memenuhi gengsi.
Menitipkan anak kepada ibu, lama‐lama menjadi hal yang
kurang mengenakkan bagiku. Kalau hanya satu dua hari
mungkin masih terasa nyaman, tetapi untuk waktu yang tak
terhingga mungkin tidak. Aku tahu ibu ikhlas momong cucu,
karena dialah yang menginginkan aku jadi pekerja, tetapi aku
tidak boleh semena‐mena menutup mata tentang itu. Aku
tetap terus mencari cara untuk mengembalikan keluarga
kecilku menjadi keluarga yang normal.
Mencari asisten rumah tangga di kala itu bukan hal yang
mudah, apalagi untuk pekerjaan momong anak kecil. Tak
banyak orang yang mau, kalaupun ada bayarannya pun
selangit. Aku dan suami hanya bisa meminta kepada yang
Maha segala‐galanya. Mungkin hal ini nampak klise, seperti
yang terjadi di sinetron, berdoa, bersimpuh di atas sajadah
kemudian doa terkabul. Itulah yang terjadi, doa kami
dikabulkan oleh Yang Maha Pemberi segalanya. Suatu sore
seorang kenalan datang ke rumah, dia bercerita memiliki
beberapa anak asuh yang membutuhkan kesempatan untuk
bersekolah. Mereka mau bekerja apa saja asal difasilitasi
untuk bisa sekolah.
Awalnya aku terheran‐heran juga, di masa seperti ini
masih ada anak yang mau bersekolah dengan kompensasi
42 | Danarti