Page 71 - MENJADI GURU SEJAHTERA TANPA UTANG-
P. 71

Maafkan Aku, Mbah Sumi




             H          idup di kampung perkotaan itu memang banyak

                     ragam orangnya. Kebetulan  aku  hidup  di  kampung
                     pinggiran  kota   yang    jejel  riyel,   alias    padat
             penduduknya.    Warganya     pun     berbagai   macam.     Ada
             penduduk asli yang sudah tinggal di kampung turun temurun,
                 ada yang menetap lama, ada juga yang sekedar kontrak.
             Kebetulan    rumahku    menghadap   jalan     besar    yang
             mengelilingi    kampungku,    jadi    interaksi  dengan  warga
                kampung tidak sesering warga yang berada  di tengahnya.
             Tidak  setiap  persoalan yang  ada  di  kampung  bisa  langsung
             aku  ketahui.  Kabar  kematian  dan  kelahiranpun  kadang  aku
             terlambat mengetahuinya. Sejak aku bekerja, aku tak banyak
             berinteraksi dengan banyak orang karena aku berangkat pagi
             pulang petang. Beda saat aku masih memiliki warung dulu,
             setiap  berita   kampung   aku   bisa  langsung  tahu    dari
             pelangganku. Bahkan berita kecil sekalipun aku bisa tahu.
                 Di  belakang  rumahku  selang  satu,  tinggallah  seorang
             nenek yang sudah sangat tua. Dialah mbah Sumi, begitu para
             tetangga menyebut. Dia tinggal sebatang kara sejak ditinggal
             suaminya,  Mbah  Marto  Kirman,  beberapa  tahun  yang  lalu.
             Sebenarnya sebelum menikah dengan Mbah Marto Kirman,
             Mbah  Sumi  sudah  dikaruniai  dua  orang  anak  perempuan,
             sedangkan  Mbah  Marto  Kirman  sendiri  sudah  punya
             beberapa  anak  juga,  baik  laki‐laki  maupun  perempuan.
             Dengan Mbah Marto Kirman sendiri, Mbah Sumi tidak


                      Menjadi Guru Sejahtera Tanpa Utang (Bukan Mimpi) | 63
   66   67   68   69   70   71   72   73   74   75   76