Page 76 - MENJADI GURU SEJAHTERA TANPA UTANG-
P. 76
Aku langsung bilang ke dia,”Mbah, besok utangmu aku
yang bayar, nggak usah dipikir berat‐berat, kalau butuh apa‐
apa bilang ke aku ya.”
Dia menjawab,”Ya Nduk, matur nuwun, aku minta maaf
ya, merepotkan kamu terus.” Aku rasanya suadah capek dan
mau istirahat, akupun bilang ke dia, “Segera pulang istirahat
ya Mbah, aku juga sudah capek mau istirahat.” Sebenarnya
aku menyuruh dia pulang juga tidak tega, tapi aku juga punya
banyak pekerjaan, jadi ya aku harus tega.
Seperti hari‐hari biasanya, kalau waktu pulang kerjaku
sudah tiba, dia pasti langsung ke rumah. Sebenarnya aku
masih capek, pingin istirahat, tapi mau bagaimana lagi Mbah
Sumi sudah ada di depan pintu. Akhirnya aku persilakan
masuk juga. Aku bilang ke dia bahwa aku sudah membayar
semua utangnya. Diapun mengucap terima kasih. Sambil
duduk dia bertanya kepadaku,”Nduk, rumah yang aku
tempati itu mau dijual anakku. Aku disuruh pindah.”
Aku kaget bukan kepalang. Memang sejak dulu rumah itu
sepertinya menjadi rebutan anak‐anaknya Mbah Marto
Kirman. Tapi baru kali ini aku mendengar langsung dari Mbah
Sumi kalau mau dijual. Betapa teganya anak menyuruh
ibunya yang sudah renta pergi dari rumah yang sudah dia
menempatinya bertahun‐tahun, walaupun bukan ibu
kandung. Aku tak bisa menjawab apa‐apa atas masalah yang
dibawa mbah Sumi. Aku hanya bisa membuat dia nyaman,
aku katakan kalau nanti rumah itu benar‐benar di jual, aku
akan mencarikan kontrakan untuk dia.
Katanya rumah itu mau dijual dengan harga 100 juta
rupiah. Andai aku punya 100 juta rupiah, rumah itu pasti
68 | Danarti