Page 75 - MENJADI GURU SEJAHTERA TANPA UTANG-
P. 75
pahala, bisa merekatkan persaudaraan dan temannya
banyak. Shalat lima waktu ke masjid dia rajin, paling kalau
shalat Isya karena malam dia aku suruh shalat di rumah saja.
Sampai suatu saat, dia bilang ke aku, “Nduk, aku mau
bilang sesuatu ke kamu, tapi jangan dimasukkan hati ya…”
Aku jawab saja sekenanya,”Ya Mbah, ada apa?”
Dia bilang utangnya di warung sebelah sudah numpuk
buanyaaaak sekali, kemarin dia sudah ditagih, tapi belum
punya uang. Aku tanya,”Lah berapa utangnya, Mbah?” dia
bilang, ”Aku juga tidak tahu, katanya sudah buanyak sekali.
Aku belum bisa membayarnya.”
Mbah Sumi memang sering berutang di warung tetangga
untuk memenuhi kebutuhan sehari‐harinya. Nanti kalau
mendapat kiriman dari anaknya yang di Surabaya, dia baru
membayarnya. Mungkin akhir‐akhir ini anaknya juga dalam
kesulitan sehingga kirimannya pun tersendat. Aku
memaklumi itu. Aku bilang ke dia,”Mbah besok ke warung
ya, bilang berapa jumlah utangmu, minta catatan biar jelas,
terus bawa ke sini nantu aku lunasi semuanya.”
Dia masih saja bilang utangnya buanyaaaak, dia takut
kalau memberatkanku. Aku bilang aku harus tahu berapa
dulu utangnya. Hari berikutnya dia datang lagi ke rumah
dengan membawa sesobek kertas. Dia bilang,”Ini ndhuk
catatan utangku.” Aku lihat catatannya, akupun sangat
terkejut, ternyata hanya Rp75.000,00. Aku seketika
tercenung, aku mesti harus lebih banyak bersyukur, walau
gajiku kecil, tapi ternyata aku masih lebih beruntung dari
Mbah Sumi, yang untuk memenuhi kebutuhan Rp75.000,00
saja merasa sudah begitu banyak.
Menjadi Guru Sejahtera Tanpa Utang (Bukan Mimpi) | 67