Page 79 - MENJADI GURU SEJAHTERA TANPA UTANG-
P. 79
uangnya boleh dipinjam. Ujung‐ujungnya uang itu tidak
kembali, dan dia akan utang ke warung lagi.
Itulah yang sampai saat ini belum bisa aku pahami, orang‐
orang yang hidupnya serba kekurangan itu rasa kekeluargaan
dan saling bantunya sangat tinggi. Jelas‐jelas dia itu hanya
punya uang pas‐pasan, eh tetangganya meminta uang itu
untuk dipinjam ya diperbolehkan. Dia bilang kasihan, padahal
menurutku dia itu yang lebih layak untuk dikasihani. Aku
tidak berpesan apa‐apa ketika aku berangkat kerja. Aku
hanya bilang, “Mbah aku pamit ya.” Dan dia menjawab
singkat, “Ya, hati‐hati ya Nduk.”
Hari berlalu begitu saja. Pagi itu Mbah Sumi tidak nampak
menyapu halaman rumahku. suamikulah yang menyapunya.
Juga berlanjut sampai pagi berikutnya dan berikutnya dia
tidak nampak menyapu. Sampai para tetangga yang lewat
menanyakan ke suamiku, kenapa Mbah Sumi tidak menyapu
halaman. Suamiku mengira mbah Sumi pergi mengunjungi
salah satu anaknya yang tinggal dekat rel kereta. Ternyata
sampai empat hari Mbah Sumi tidak nampak sampai berhari‐
hari.
Hari itu hari Kamis. Aku mengajar seperti biasa. Jam
mengajarku begitu padat sehingga aku tak sempat
menengok HP untuk sekedar membaca sms. Tiba‐tiba sekitar
jam 11.00 handphoneku berdering. Aku dengan segera
mengangkatnya. Ternyata di ujung sana ada Mak Nanik yang
menelepon. “Ada apa Mak?” tanyaku.
Dia mengabarkan Mbah Sumi meninggal dunia. Aku
hanya bisa menjawab,”Innalillahi wainnailaihi rajiun.” Aku
tanyakan apa dia sakit. Dia bercerita kalau Mbah Sumi
Menjadi Guru Sejahtera Tanpa Utang (Bukan Mimpi) | 71