Page 73 - MENJADI GURU SEJAHTERA TANPA UTANG-
P. 73
masalah biaya, sehingga mereka kesulitan untuk saling
bersilaturahmi.
Setiap aku pulang kerja, Mbah Sumi sering ke rumahku.
Bahkan hanya untuk sekedar berkeluh kesah tentang
kehidupannya, atau terkadang membawa sayur dan lauk
pauk untuk anak‐anakku. Aku tak mungkin tinggal diam.
Walau mungkin hanya se‐rupiah dua‐rupiah, kalau ada sisa
belanja aku berikan kepadanya. Anak‐anakku pun kadang
bertanya, “Ngapain Mi, simbah, ke rumah?” Mungkin bagi
anak‐anak hal itu aneh, “Apa nggak capek hampir setiap hari
datang ke rumah?” Tapi aku terangkan ke anak‐anakku,
simbah itu butuh teman untuk curhat. Sejak saat itu anak‐
anakku tidak pernah bertanya lagi.
Ada satu hal selalu aku ingat, dia selalu mendoakan
suamiku dengan bersuara keras. Ketika itu kami belum punya
mobil. Dia setiap bertamu tidak pernah lupa mengatakan,
“Nduk, tak doakan semoga suamimu segera diberikan rezeki
biar bisa membeli mobil,” dan akupun hanya bisa
mengaminkan. Akhirnya doa itupun terkabul. Aku bisa
memiliki mobil walau mobil tua, yang anak‐anak menamainya
dengan “Moto Bagong”, karena memiliki lampu depan yang
bulat seperti mata Bagong di tokoh perwayangan. Dari
tabungan yang kami kumpulkan sedikit demi sedikit mobil itu
bisa kami beli. Banyak orang yang menyapa dengan sedikit
sinis, mobil tua bangka begitu dibeli, apa tidak rugi dan lebih
mahal merawatnya. Tapi Mbah Sumi selalu bilang, “Gak apa‐
apa Nduk, yang penting bisa dipakai bareng‐bareng, aku bisa
nunut.” Dan banyak doa‐doa lagi yang dia berikan untuk
Menjadi Guru Sejahtera Tanpa Utang (Bukan Mimpi) | 65