Page 485 - BUKU KATA FADLI CATATAN KRITIS DARI SENAYAN
P. 485
Dr. Fadli Zon, M.Sc
Pembangunan mestinya juga dilakukan berdasarkan kebutuhan dan
kemampuan, bukan untuk kepentingan etalase politik atau pencitraan
semu. Mahal sekali harga yang harus dibayar oleh rakyat Indonesia
nantinya. Dalam empat tahun terakhir, misalnya, anggaran publik dan
juga utang sektor publik secara jor-joran digunakan untuk pembangunan
infrastruktur, dengan mengabaikan kebutuhan lainnya. Jika hasil
pembangunan itu utilisasinya minim, bukankah itu merugikan dana publik
yang telah dihabiskan?
JUMLAH UTANG INDONESIA SEJAK JOKOWI MENJABAT
(Dalam Triliun Rupiah)
Data Utang Kuartal III Kuartal III Kuartal III Kuartal III Kuartal III
2014
2016
2018
2017
2015
Total 2.601,71 3.091,05 3.444,82 3.866,39 4.416,37
Utang
SBN 1.917,19 2.299,37 2.733,83 3.248,63 3.593,26
Pinjaman 683,79 791,68 743,78 737,93 823,11
Sumber: Bank Indonesia & Kemenkeu (diolah)
Saya juga melihat klaim-klaim keberhasilan pembangunan ekonomi
pemerintah cenderung membodohi publik. Contoh klaim pembangunan
jalan tol. Jalan tol itu sebagian infrastruktur swasta, bukan infrastruktur
publik, bagaimana ceritanya pembangunan jalan tol diklaim sebagai
prestasi pembangunan? Itu tak ada bedanya jika ada Bupati mengklaim
pembangunan mal di kotanya sebagai prestasi pemerintah daerah. Klaim
yang sangat menggelikan. Dengan kata lain, tol berbayar adalah bentuk
berbisnis dengan rakyat, bukan bentuk pelayanan.
Infrastruktur publik itu adalah jalan nasional, jalan provinsi, jalan
kabupaten, dan sejenisnya, bukan jalan tol, karena masyarakat harus
membayar jika ingin menggunakan jalan tol. Masalahnya, alih-alih
memperbaiki jalan lintas Sumatera, misalnya, atau jalan-jalan arterinya
yang rusak, Pemerintah malah berniat membangun jalan tol lintas
Sumatera. Lalu di mana sifat ‘publik’-nya?
Klaim keberhasilan pembangunan jalan tol itu bukan hanya
512 KATA FADLI