Page 97 - EKONOMI KERAKYATAN
P. 97
EK ON OMI I KERAKY A T AN
Dalam Diskusi Dua Generasi
Pengakuan kedaulatan oleh Belanda dalam Konferensi Meja Bundar
(KMB) yang diumumkan pada 27 Desember 1949, Bangsa Indonesia
dinyatakan menanggung beban ekonomi dan keuangan yang cukup besar.
Namun rakyat Indonesia tidaklah terlalu cemas dengan hal itu. Berbekal
sumber daya alam yang dimiliki, sejumlah pengusaha dan saudagar di
berbagai wilayah di Indonesia mulai bangkit.
Salah satu bukti dari harapan para pelaku ekonomi ini adalah
ketika beberapa saudagar besar di Padang, Propinsi Sumatera Tengah,
sudah mulai melakukan aktivitas dagangnya. Bakat dagang yang memang
sudah turun temurun, membuat beberapa saudagar tersebut kembali
berspekulasi dengan membeli serta mendatangkan berbagai barang
kebutuhan dari berbagai kota lain, termasuk mengimpor dari Singapura.
Beberapa kapal dagang dari berbagai kota lain, dalam dan luar negeri,
mulai sering sandar di Pelabuhan Muara dan Pelabuhan Teluk Bayur.
Beberapa diantaranya juga sudah berani melakukan ekspor hasil
perkebunan, seperti Pala, Kulit Manis dan Cengkeh. Pada saat itu hanya
komoditi rempah ini yang bisa menjadi andalan ekspor. Komoditas yang
sangat laku di pasaran dunia. Mereka tak terpengaruh dengan gonjang-
ganjing politik yang lebiih banyak terjadi di pemerintahan pusat.
Hebatnya, pada Kabinet Natsir, pemerintah sudah berani
mengeluarkan bantuan kredit kepada pada pengusaha. Program yang
resmi diluncurkan bulan April 1950 diberi nama Program Benteng.
Tercetusnya Gerakan Benteng didasari atas gagasan penting untuk
mengubah struktur ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional.
Program Benteng tahap 1 resmi dijalankan selama 3 tahun (1950-
1953) dengan 3 kabinet berbeda (Natsir, Sukiman, dan Wilopo). Selama 3
tahun, lebih dari 700-an bidang usaha bumiputera memperoleh bantuan
kredit dari program ini. Akan tetapi, hal yang diharapkan dari program
ini tidak sepenuhnya tercapai, bahkan banyak pula yang akhirnya
membebani keuangan negara.
Pemberian kredit kepada para pengusaha bumiputera dimaksudkan
untuk memicu pertumbuhan perekonomian nasional. Akan tetapi,
kebijakan ini ternyata tidak mampu meruntuhkan dominasi para
94