Page 45 - BUKU SATU - DARI VOLKSRAAD KE KOMITE NASIONAL INDONESIA PUSAT 1918-1949
P. 45
SEABAD RAKYAT INDONESIA
BERPARLEMEN
dalam Volksraad dengan argumen sebagai berikut: “Door verschillende
sprekers is reeds betoogd hoe ongewenscht het is verschillende talen in
te voeren en daarom ga ik er mede accoord om een taal te noemen, n.l.,
het Maleisch.” [Telah dikemukakan oleh berbagai pembicara betapa
tidak diinginkannya memperkenalkan bahasa yang berbeda dan oleh
karena itu, saya setuju untuk menyebutkan suatu bahasa, yaitu bahasa
Melayu]. 83
Selanjutnya, terkait dengan penggunaan bahasa dalam
perdebatan di Volksraad: “Bij de beraadslagingen mag zoowel het
Nederlandsch als het Maleisch gebezigd worden.” [Selama pembahasan,
baik bahasa Belanda maupun Melayu dapat digunakan]. Alasan di balik
84
mosi Jayadiningrat dan Van Hinloopen Labberton adalah kepraktisan
dalam menyampaikan pernyataan mereka di muka dewan. Jika para
wakil pribumi mendapat kesempatan yang sama untuk mengemukakan
pendapat mereka di depan Volksraad, maka mereka harus diizinkan
untuk membahas persoalannya dengan bebas menggunakan bahasa
ibu mereka sendiri. Namun, hal ini mendapatkan tentangan dari
pihak Belanda. Bahkan J.E. Stokvis, seorang wakil yang merupakan
Selama sidang tokoh sosialis Belanda dan selalu mendukung perjuangan pribumi,
pertama Volksraad, menyatakan bahwa hal tersebut pasti akan menimbulkan kekacauan
komunikasi luar biasa. 85
para wakil Budi Selama sidang pertama Volksraad, para wakil Budi Utomo
Utomo lebih lebih banyak membahas masalah pendidikan. Secara khusus, Rajiman
banyak membahas Wedyodiningrat menegaskan arti politik dalam pendidikan bagi
masalah rakyat pribumi. Ia menyatakan rasa kecewanya karena pembangunan
masyarakat pribumi masih jauh dari kata memuaskan. Sementara
pendidikan. itu, pemerintah tidak melangkah dengan cepat dalam mengimbangi
keinginan untuk maju di pihak penduduk pribumi yang semakin
berkembang dengan pesat. 86
Menurut Rajiman, dibentuknya Volksraad merupakan suatu hasil
positif dari hasrat untuk maju. Jika penduduk pribumi tidak diizinkan
untuk berkembang, yaitu jika politik Belanda yang pada tahun 1816
bertujuan untuk memperoleh keuntungan dengan mengorbankan
penduduk Hindia-Belanda masih terus diterapkan, maka hasilnya
mungkin akan menjadi sangat berbeda, yaitu “rakyat yang tidak
memiliki kepribadian”. Lalu, Rajiman memperingatkan pula bahwa
83 Handelingen Volksraad 1918 Derde vergadering, hlm. 18
84 Handelingen Volksraad zitting 2-1918
85 Handelingen 1918-1919, Tahun 1, hlm 17.
86 Handelingen 1918-1919, Tahun 1, hlm 153-155.
dpr.go.id 40
A BUKU SATU DPR 100 BAB 02A CETAK.indd 40 11/18/19 4:48 AM