Page 53 - BUKU SATU - DARI VOLKSRAAD KE KOMITE NASIONAL INDONESIA PUSAT 1918-1949
P. 53

SEABAD RAKYAT INDONESIA
                  BERPARLEMEN




                                                   Abdullah Alatas, M. Abukasan Atmodirono, P. Bergmeijer, D. Birnie,
                                                   K.A.R. Bosscha, L. Coster van Voorhout, Ch. G. Cramer, R.A.A.
                                                   Jayadiningrat, M. Ng. Dwijosewoyo, Mr. J. Gerritzen, Mr. H. ‘s Jacob,
                                                   M.B. van der Jagt, H.H. Kan, H. Ketner, R.M.T.A. Kusumo Yudo Sumiodo,
                                                   R.M.T.A. Kusumo Utoyo, M.C. Koning, D. van Hinloopen Labberton,
                                                   F. Laoh, Lim A Pat, Cipto Mangunkusumo, T.E. Mohamad Thayeb,
                                                   J.C. Pabst, P.A.A.P. Prangwadono, R. Sastrowiyono, Mr. Or. W.M.G.
                                                   Schumann, J.A. Soselisa, G. Th. Stibe, Z. Stokvis, A.L. Waworuntu, Dr.
                                                   R. Ng. Rajiman alias Wediodipuro, dan W.A.C. Whitlau. 101
                                                         Dalam sidang, dibahas beberapa hal, antara lain mengenai surat
                                                   permohonan. Seperti surat permohonan yang dikirim melalui kawat
                                                   oleh Manullang mengenai heerendiensten (kerja wajib) di Tapanuli,
                                                   surat permohonan dari seorang Arab dengan gelar Mualim mengenai
                                                   pajak atas perusahaan dan pemasukan lain dari penduduk pribumi di
                                                   Pantai Barat Sumatra, surat permohonan dari para pedagang di Banda
                                                   Neira untuk meminta dukungan Volksraad dalam rencana mendirikan
                                                   stasiun nirkabel di Banda Neira yang akan diajukan kepada Gubernur
                                                   Jenderal, serta surat permohonan Pedanda Waja Kekeran dari Lombok
                  Pada 14 November                 mengenai keberatannya atas heerendiensten di sana. Pedanda Waja

                          1918, selama             Kekeran juga meminta anggota Volksraad untuk datang berkunjung
                  persidangan kedua                ke sana guna melakukan penyelidikan terkait dengan penanganan
                                                   pimpinan pemerintahan. Perihal penghapusan heerendiensten juga
                      Volksraad, Cipto             menjadi isi dari surat permohonan Haji Muhamad Saat dan Haji
                     Mangunkusumo                  Muhamad Syarif, ketua dan sekretaris Sarekat Islam di Padang. Hal

                             mengkritik            lain yang diajukan oleh Haji Muhamad Saat dan Haji Muhamad Syarif
                                                                                                               102
                  pemerintah Hindia                adalah permohonan pembebasan bagi pribumi dari wajib militer.
                                                         Pada 14 November 1918, selama persidangan kedua Volksraad,
                                Belanda.           Cipto Mangunkusumo mengkritik pemerintah Hindia Belanda. Ia
                                                   menyampaikan kritik tersebut dalam bahasa Belanda yang dengan
                                                   dibungkus nada humor. Cipto juga “memparodikan” sifat gender
                                                   dan menggunakan metafora untuk penguasa kolonial. Hal tersebut
                                                   dilakukannya untuk menggambarkan keberatannya terhadap kebijakan
                                                   Belanda di Hindia-Belanda. 103
                                                         Sementara itu di Belanda, di penghujung Perang Dunia I,
                                                   sedang ada gejolak yang muncul dari kaum sosialis yang mendesak
                                                   pemerintah untuk melakukan perubahan demokratis dan juga


                                                   101  Handelingen De Tweede Gewone Zitting 1918, hlm. 3
                                                   102  Ibid., hlm. 5
                                                   103  Frances Gouda, “The Gendered Rhetoric of Colonialism and Anti-Colonialism in Twentieth-
                                                      Century Indonesia”, Indonesia, No. 55, April 1993, hlm. 2




                                       dpr.go.id   48





         A BUKU SATU DPR 100 BAB 02A CETAK.indd   48                                                               11/18/19   4:48 AM
   48   49   50   51   52   53   54   55   56   57   58