Page 22 - BUKU SEABAD RAKYAT INDONESIA BERPARLEMEN
P. 22

DARI VOLKSRAAD
                                                                                      KE KOMITE NASIONAL INDONESIA PUSAT (1917-1949)





                  Indische Partij sempat mengajukan permohonan kembali, namun kem-
                  bali  ditolak.  Pemerintah  Hindia-Belanda  menganggap  Indische  Partij
                  merupakan organisasi yang terlalu berbahaya bagi kelangsungan pe-
                  merintahan kolonial. Hampir setiap rapat mereka mendapat penjagaan
                  dan pengawasan polisi dan jaksa.


                  Para pegawai pemerintah yang menjadi anggota Indische Partij pun
                  diperingatkan. Bahkan, ada beberapa perusahaan yang memecat pe-
                  gawainya karena menjadi anggota Indische Partij. Dalam jangka waktu
                  satu hingga dua tahun, akibat sikap keras pemerintah kolonial itu, jum-
                  lah keanggotaan Indische Partij turun menjadi hanya 700 orang dari
                  sekitar 4.000 anggota sebelumnya. Padahal, keanggotaan mereka pun
                  sebenarnya rahasia, dalam arti para pendukung partai mendaftarkan
                  diri sebagai anggota secara diam-diam.


                  Meskipun Indische Partij tidak diakui sebagai organisasi resmi, Douwes
                  Dekker dan kawan-kawannya tetap menyuarakan gagasan dan kritik
                  terhadap  pemerintah.  Misalnya  ketika  Pemerintah  Hindia-Belanda
                  berencana merayakan 100 tahun bebasnya negeri Belanda dari Prancis
                  pada  1913,  dibentuklah  sebuah  panitia  di  Bandung  dengan  nama
                  Comite  Boemi  Poetra  yang  diketuai  Cipto  Mangunkusumo,  dengan
                  Suwardi  Suryaningrat  sebagai  sekretaris,  serta  Abdul  Muis  dan  A.
                  Wignyadisastra sebagai anggota.


                  Tujuan pembentukan panitia itu antara lain tuntutan mencabut Pasal 111
                  Regerings Reglement tentang larangan perkumpulan atau persidang-
                  an di Hindia-Belanda yang membicarakan soal pemerintahan (politik);
                  membentuk parlemen/majelis perwakilan rakyat sejati; dan adanya ke-
                  bebasan berpendapat di tanah jajahan.
                                                                                                   Abdul Muis, c. 1916.
                  Akibatnya,  Cipto  Mangunkusumo,  Suwardi  Suryaningrat,  Abdul  Muis,           (Sumber: KITLV 7814)
                  dan  Wignyadisastra  ditahan.  Mereka  dianggap  menghina  Pemerintah
                  Hindia-Belanda dan memicu keresahan di masyarakat. Namun mereka
                  berkukuh. Perihal keinginan untuk pembentukan parlemen kembali dite-
                  gaskan Suwardi dalam catatan pembelaannya ketika ia sudah ditahan.


                  Selain Indische Partij, keinginan untuk berparlemen juga dikemukakan
                  oleh Cokroaminoto, seorang tokoh Sarekat Islam. Cokroaminoto me-
                  ngemukakan hal tersebut dalam pidatonya di Kongres Nasional Sare-
                  kat Islam I di Bandung pada 17-24 Juni 1916. Ia mengungkapkan perihal
                  perlunya desentralisasi, zelfbestuur, dan otonomi di berbagai wilayah di
                  Hindia-Belanda.





                    dpr.go.id                                                                               15
   17   18   19   20   21   22   23   24   25   26   27