Page 225 - BUKU SEABAD RAKYAT INDONESIA BERPARLEMEN
P. 225
SEABAD RAKYAT INDONESIA
BERPARLEMEN
Kedua, membuat birokrasi lebih tanggap pada pimpinan pusat. Strategi
ini menyebabkan banyak perwira ABRI dan teknokrat sipil yang berori-
entasi pada modernisasi masuk ke badan pemerintah.
Ketiga, memperluas wewenang pemerintah pusat dan mengkonsoli-
dasikan pengendalian atas daerah. Pemerintah pusat menempatkan
orang-orang yang dapat dikendalikan oleh pusat di berbagai keduduk-
an pemerintah daerah. ABRI mendapat persentase paling banyak da-
lam hal ini.
2. Angkatan bersenjata yang terpadu
Masalah yang sedang dihadapi oleh pemerintah baru ialah faksionis-
me dalam tubuh angkatan bersenjata. Militer terpecah dalam kubu
loyalis Soekarno, pendukung Soeharto, maupun para panglima di da-
erah yang menikmati otonomi. Pada 1966 hingga awal 1967, Soeharto
mengganti panglima-panglima daerah dengan orang yang pro kepa-
da dirinya. Konsolidasi ini berbarengan dengan langkah menghambat
Jenderal A.H. Nasution, yang merupakan jenderal senior AD. Jenderal
Nasution ia tempatkan di jabatan sipil yang tinggi namun tidak berpe-
ngaruh, yakni sebagai Ketua MPRS.
3. Lembaga perwakilan yang lebih tanggap
Salah satu politik legislatif yang penting ialah mekanisme penarikan diri
anggota dari keanggotaan di DPR (recall). Pendisiplinan model ini me-
mungkinkan pimpinan pusat partai menarik wakilnya dari DPR apabila
tidak mengikuti petunjuk partai. Dengan mekanisme seperti ini, peme-
rintah mengendalikan tingkah laku para anggota legislatifnya. Sistem
recalling bermanfaat dalam membatasi keragaman pendapat dalam
politik legislatif. Tidak ada perubahan yang berarti sejak saat itu. Pe-
milu-pemilu di zaman Orde Baru hanya mengesahkan politik parlemen.
4. Politik kepartaian yang disederhanakan
Menurut elite Orde Baru, masalah partai-partai politik Indonesia mun-
cul karena sebagian besar dari mereka berorientasi pada ideologi, bu-
kan pada program, dan jumlahnya pun terlalu banyak. MPRS, yang se-
cara formal adalah lembaga politik tertinggi, telah menetapkan pemilu
diadakan pada 1968. Soeharto harus memperhatikan ketetapan MPRS,
218