Page 235 - Prosiding Seminar Nasional: Problematika Pertanahan dan Strategi Penyelesaiannya. Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional bekerja sama dengan Pusat Studi Hukum Agraria
P. 235
Adi Kurniawan: Membangun Sistem Publikasi Positif dalam Pendaftaran Tanah ... 227
Ruang lingkup sistem pendaftaran tanah adalah berkisar pada, apa yang didaftar, bentuk
3
penyimpanan dan penyajian data yuridisnya serta bentuk tanda bukti haknya. Dalam
penyelenggaraan pendaftaran tanah atau disebut juga legal cadaster kepada pemegang hak
atas tanah dapat dengan mudah membuktikan hak atas tanahnya yang bersangkutan. Hanya
saja perlu dikritisi lebih lanjut adalah bagaimana validitas dari sebuah data yang disajikan
dalam tanda bukti hak yang dimiliki oleh subyek hukum dalam hal ini berupa sertipikat.
Disisi lain dalam UUPA maupun PP Pendaftaran Tanah dijelaskan bahwa sertipikat atau
surat tanda bukti hak yang diterbitkan berlaku sebagai alat bukti yang kuat, hal ini guna
4
menjamin kepastian hukum. Hal ini mengindikasikan sistem publikasi pendaftaran tanah
yang berlaku di Indonesia adalah sistem publikasi negatif bertendensi positif. Dalam
sistem publikasi baik positif dan negatif tentu memiliki kelebihan dan kekurangan masing-
masing, namun yang dikedepankan di Indonesia adalah asas keseimbangan dalam
pendaftaran tanah guna menjamin kepastian hukum bagi pemegang hak.
Pemberlakuan sistem publikasi pendaftaran tanah ini memang secara langsung atau
tidak langsung akan dapat dirasakan oleh masyarakat atau subyek hukum lain sebagai
pemegang hak atas tanah. Namun pemberlakukan sistem publikasi ini juga menjadi faktor
penyumbang munculnya sengketa tanah seperti tumpang tindih tanah, penyerobotan,
bahkan pemalsuan data-data permohonan tanah untuk kepentingan perseorangan, dan hal
ini tentu akan merugikan pihak yang memang berhak atas objek tanah.
Dalam rumusan Pasal 32 ayat (2) PP Pendaftaran Tanah dijelaskan bahwa dalam hal
suatu bidang tanah sudah diterbitkan secara sah atas nama orang atau badan hukum yang
memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak
lain yang merasa mempunyai hak atas tanah tersebut tidak dapat menuntut pelaksanaan hak
dimaksud sepanjang tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertipikat
5
dan Kepala Kantor Pertanahan atau mengajukan gugatan ke pengadilan.
Dengan kata lain, bahwa sebenarnya penjaminan kepastian hukum yang diperoleh oleh
pemegang hak atas tanah tidak secara mutlak diberikan, karena masih terdapat celah untuk
diajukannya keberatan atau bahkan gugatan langsung kepada pengadilan. Hal yang menjadi
penting dari pendaftaran tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) adalah itikad
baik. Dalam prinsip umum, itikad baik itu ada pada tiap orang, sedangkan itikad buruk harus
dibuktikan. Oleh karena itu, beban pembuktian ada di beban pihak yang merasa mempunyai
6
hak atas tanah tersebut.
3 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi
dan Pelaksanaannya, (Jakarta: Djambatan, 2008), hlm. 76.
4 Indonesia, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Pendaftaran
Tanah, PP No. 24 Tahun 1997, LN No. 59, TLN No. 3696, Penjelasan Pasal 32 ayat (2).
5 Muh. Ikhsan Saleh dan Hamzah Halim, Politik Hukum Pertanahan Konsepsi Teoritik Menuju Artikulasi
Empirik. (Makassar: Pukap Indonesia, 2009), hlm. 58.
6 Arie Sukanti Hutagalung, Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah, (Jakarta: LPHI, 2005),
hlm. 93.