Page 254 - Prosiding Seminar Nasional: Problematika Pertanahan dan Strategi Penyelesaiannya. Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional bekerja sama dengan Pusat Studi Hukum Agraria
P. 254
246 Prosiding Seminar: Problematika Pertanahan dan Strategi Penyelesaiannya
puluh sembilan persen) tanah milik masyarakat Indonesia yang sudah bersertipikat. Jumlah
tersebut dapat menggambarkan bagaimana bagi sebagian masyarakat Indonesia pensertipi-
katan merupakan suatu proses yang berlarut-larut.
Kesulitan masyarakat Indonesia untuk dapat melakukan pensertipikatan atas bidang
tanah yang dimiliki, menunjukkan bahwa:
a. Pemerintah tidak memiliki itikad baik untuk menindak para oknum di Kantor Pertanahan
setempat yang mencoba mencari keuntungan dalam pelayanan sertifikasi tanah,
mengingat pengaduan atas kasus-kasus tanah yang melibatkan mafia pertanahan dan
oknum-oknum dari instansi Kantor Pertanahan tidak pernah terselesaikan;
b. Pemerintah belum menerapkan secara optimal Peraturan Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 1 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan dan Pengaturan Pertanahan;
c. Pemerintah cenderung terkesan menciptakan situasi ketidakpastian hukum terhadap
kasus-kasus pertanahan.
Sebenarnya secara keseluruhan pemerintah melalui UUPA dan PP Nomor 24 Tahun 1997
telah menetapkan mengenai prosedur pendaftaran tanah. Diawali dengan pengukuran secara
menyeluruh, kemudian mengadakan pemetaan yang lengkap dan membukukan tanah yang
ada di kawasan negara Indonesia. Bila proses tersebut telah dilakukan secara optimal, barulah
dapat diadakan pendaftaran hak-hak atas tanah dalam artian hak-hak apa saja yang ada diatas
tanah yang telah diukur dan siapa pemegang haknya terhadap suatu bidang tanah dapat
ditentukan dengan pasti. Untuk keperluan tersebut sudah tentu harus diawali dengan ke-
giatan penelitian seksama terhadap tanah yang bersangkutan. Bila proses tersebut sudah
dilakukan baru dapat diberikan tanda bukti hak, yakni sertipikat. Dengan diperolehnya
sertipikat maka seseorang atau suatu badan hukum mempunyai suatu kepastian hukum atas
hak atas tanah yang dimilikinya.
Idealnya suatu pendaftaran tanah diharapkan dapat memberikan kepastian hukum
sebagaimana yang dimaksudkan oleh UUPA. Kemudian dengan pendaftaran hak atas tanah
yang sekarang diwajibkan kepada setiap pemegang hak, ketentuan perundangan yang
berlaku sudah mengatur lebih jauh dan malah sulit untuk dijangkau oleh masyarakat karena
penentuan tersebut kurang memperhatikan realita sosial dalam masyarakat Indonesia.
Pendaftaran hak atas tanah menjadi kewajiban yang pada saat ini memang masih sulit
dilaksanakan, karena tingkat kesadaran masyarakat yang masih rendah dan juga kelemahan
dari pemerintah yang kadang justru mempersulit masyarakat yang ingin mendaftarkan
tanahnya sendiri baik dari segi biaya maupun administratif.
B. Dalam Pembuatan Akta
Tahap pertama yang harus dilakukan oleh Penjual dan Pembeli sebelum melakukan
transaksi jual-beli tanah adalah dengan berkonsultasi dengan Pejabat Pembuat Akta Tanah
(PPAT), karena berdasarkan ketentuan Pasal 37 PP Nomor 24 Tahun 1997 peralihan hak atas