Page 260 - Prosiding Seminar Nasional: Problematika Pertanahan dan Strategi Penyelesaiannya. Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional bekerja sama dengan Pusat Studi Hukum Agraria
P. 260

252    Prosiding Seminar: Problematika Pertanahan dan Strategi Penyelesaiannya



             ruang terbuka kota yang lebih lega dan dapat digunakan sebagai suatu cara peremajaan kota
                          1
             yang kumuh . Sejalan dengan arah kebijaksanaan tersebut, maka di daerah perkotaan yang
             berpenduduk  padat  sedangkan  tanah  yang  tersedia  sangat  terbatas,  perlu  dikembangkan
             pembangunan perumahan dan pemukiman  yang dapat dihuni bersama di dalam suatu ge-

             dung  bertingkat,  dimana  satuan-satuannya  dapat  dimiliki  secara  secara  terpisah  yang
             dibangun baik secara horisontal maupun secara vertikal.
                  Untuk  memenuhi  kebutuhan  pembangunan  rumah  susun  pada  1985,  dikeluarkan

             Undang-undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun merupakan Undang-undang
             Rumah Susun di Indonesia yang diharapkan dapat melayani kebutuhan masyarakat dalam
             proses moderisasi. Undang-undang Nomor 16 Tahun 1986 melahirkan konsekuensi adanya
             lembaga  kepemilikan  baru  sebagai  hak  kebendaan  yaitu  adanya  Hak Milik  atas  Satuan

             Rumah Susun (HMSRS) yang terdiri dari hak perseorangan atas unit satuan rumah susun
             dan hak atas tanah bersama, atas benda bersama serta atas bagian bersama, yang kesemuanya
             merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan satuan-satuan yang bersangkutan,
             semula  tidak  dikenal  dalam  Undang-Undang  Pokok  Agraria,  yang  mana  undang-undang

             tersebut  telah  diperbaharuhi  dengan  Undang-undang  No.  20  Tahun  2011  pada  tanggal  10
                                                                                                        2
             November  2011.  Rumah  susun  di  Indonesia  mempergunakan  Sistem  Con-Dominimum ,
             menurut  kata  berasal  dari  bahasa  latin  yang  terdiri  dari  2    (dua)  kata,  yaitu  con  berarti

             bersama-sama  dan donimium  berarti  pemilikan,  dalam  perkembangannya  condominium
             mempunyai  arti  sebagai  suatu  pemelikan  bangunan  yang  terdiri  atas  bagian-bagian  yang
             secara terpisah, serta dimiliki secara individual berikut bagian-bagian lain dari bangunan itu
             dan tanah diatas mana bangunan berdiri yang karena fungsinya digunakan bersana, dimiliki

             secara  bersama-sama  oleh  pemilik  bagian  yang  dimiliki  secara  individual  tersebut  diatas,
             sehinggga dapat disimpulkan suatu sistem pemilikan perseorangan dan hak bersama yang
             intinya adalah pengaturan pemilikan bersama atas sebidang tanah dengan bangunan fisik
                       3
             diatasnya . Hal ini tercermin pada undang-undang Rumah Susun menggunakan sistem con-
             dominium  adalah  pemilikan  individual  dan  hak  bersama,  oleh  karena  itu    sistem  con-
             dominium mengandung pemilikan hak bersama, meliputi hak atas bagian bersama, benda
             bersama  dan  tanah  bersama  yang  dapat  dimiliki  secara  individual  adalah  Satuan  Rumah

             Susun.
                  Rumah susun dapat dibangun di atas tanah: a. hak milik; b. hak guna bangunan atau hak
             pakai atas tanah negara; dan c. hak guna bangunan atau hak pakai di atas hak pengelolaan,
             sedangkan  untuk    rumah  susun  umum  dan/atau  rumah  susun  khusus  dapat  dibangun

             dengan: a. pemanfaatan barang milik negara/daerah berupa tanah; atau b. pendayagunaan
             tanah wakaf, yang merupakan hak-hak atas tanah yang diatur dalam Undang-undang Pokok


                1   Arie S Hutagalung, Sistem Condominium Indonesia: Implikasi dan Manfaatnya bagi Developer Property
             Owner, (Jakarta, 1990), h 1.
                2  Ibid.
                3 Arie S Hutagalung, Serba Aneka Masalah Tanah dalam Kegiatan Ekonomi, (Jakarta, 1999), h. 176.
   255   256   257   258   259   260   261   262   263   264   265