Page 267 - Prosiding Seminar Nasional: Problematika Pertanahan dan Strategi Penyelesaiannya. Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional bekerja sama dengan Pusat Studi Hukum Agraria
P. 267

Elsi Kartika Sari: Kekuatan Hukum terhadap Pemilikan Satuan Rumah ...      259


             menyatakan hak atas tanah hapus berdasarkan peraturan perundang-undangan seperti Hak
             Guna  bangunan  mempunyai  jangka  waktu  25  tahun,  oleh  karena  itu  harus  dilakukan
             perpanjangan hak atas tanah yang bersangkutan, namum jika  tidak dilakukan perpanjangan
             hak atas tanahnya maka dapat dilaksanakan penghapusan hak atas tanah yang digunakan

             sebagai tanah bersama tersebut.
                  Sertipikat Hak Milik atas Satuan Rumah Susun yang dikeluarkan sebagai bukti pemilikan
             atas satuan rumah susun, tidak mempunyai kekuatan hukum apabila hak atas tanah yang

             bersangkutan  berakhir  atau  hapus  di  karena  ketentuan  Pasal  50    Peraturan  Pemerintah
             Nomor 4 Tahun 1988, sehingga dapat dikatakan bahwa Sertipikat Hak atas Tanah sebagai alas
             pembangunan lebih kuat di bandingkan SHM Sarusun bukti pemilikan satuan rumah susun.
                  Pasal 50 Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 1988 merupakan suatu peraturan pemerin-

             tah yang tidak memenuhi karakteristik daripada suatu Peraturan Pemerintah.  Berdasarkan
             karakteristik Pasal 50  Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988, merupakan ketentuan
             yang menambah dalam Uundang-undang induknya yang tidak mengatur tentang hapus hak
             milik atas satuan rumah susun terhadap hak atas tanah, sedangkan Menurut Hans Kelsen

             mengemukan teori mengenai jenjang norma hukum (stufentheori). Hans Kelsen berpendapat
             bahwa  norma-norma  hukum  itu  berjenang  dan  berlapis-lapis  dalam  suatu  hierarki  (tata
             susunan) dalam arti suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber dan berdasarkan

             pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada
             norma  yang  tinggi  lagi,  demikian  seterusnya  sampai  pada  suatu  norma  yang  tidak  dapat
                                                                                                    13
             ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotetis dan fiktif yaitu Norma Dasar (Grundnorm) .
                  Teori jenjang norma hukum dari Hans Kelsen diilihami oleh seorang muridnya bernama

             Adolf Merkl yang mengemukan bahwa suatu norma hukum itu selalu mempunyai dua wajah
             (das Doppelte Rechtssantlitz), suatu norma hukum itu ke atas ia bersumber dan berdasarkan
             norma yang diatasnya, tetapi ke bawah ia juga menjadi sumber dan menjadi dasar bagi norma
             hukum di bawahnya, sehingga suatu hukum itu mempunyai masa berlaku (rechtskracht)

             yang relatif, oleh karena masa berlakunya suatu norma hukum tergantung pada norma hu-
             kum  yang  berada  diatasnya.  Apabila  norma  hukum  yang  berada  diatasnya  dicabut  atau
             dihapus, pada dasarnya norma-norma hukum yang berada dibawahnya akan tercabut atau

             terhapus pula. Dalam hal tata susunan/hierarki sistem norma, norma yang tertinggi (Norma
             Dasar)  itu  menjadi  tempat  bergantungnya  norma-norma  dibawahnya,  sehingga  apabila
             Norma Dasar itu berubah akan menjadi rusaklah sistem norma yang berada dibawahan.
                  Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988 merupakan ketentuan pelaksanaan Undang-

             undang  Nomor  16  Tahun  1985  tentang  Rumah  Susun.  Oleh  karena  itu  Pasal  50  dapat
             dikatakan  ketentuan  yang  melebihi  apa  yang  diatur  dalam  undang-undang  rumah  susun
             sebagai undang-undang induknya, sesuai dengan asas Lex Superior Derogate Legi Inferiori



                13  Hans Kelsen, General theory of Law and State, New york: Russell & Russell, 1945, hal 113, dalam Maria
             Farida Indrati, Ilmu Perundang-undangan, (Yogyakarta: Penerbit  Kanisius, 2007), h. 41-42
   262   263   264   265   266   267   268   269   270   271   272