Page 156 - Keadilan Agraria dan Penataan Ruang
P. 156
merupakan sekelompok oknum manusia yang saling bekerjasama
melakukan kejahatan pertanahan untuk memiliki tanah milik orang
lain secara ilegal (Cahyaningrum, 2021). Kejahatan yang dilakukan
mafia tanah telah banyak memicu terjadinya konflik yang tak jarang
menimbulkan korban jiwa.
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, Pemerintah
mengatur peraturan-peraturan penting tentang pertanahan yang
dapat ditemukan pada UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria)
untuk mencegah terjadinya konflik pertanahan di masa mendatang
(Hartanta dan Rachmawati, 2019). Aturan UUPA No.5 Tahun 1960,
dibuat dengan tujuan untuk mangatur kepemilikan seseorang
terhadap tanah agar pemilik tanah dapat dilindungi secara hukum
(Hidayatulloh dan Saputri, 2020).
UUPA No. 5 tahun 1960 dirancang untuk mengatur tentang
kepemilikan tanah dan mencegah terjadinya konflik pertanahan
yang dapat disebabkan berbagai hal salah satunya oleh keberadaan
Eigendom Verponding. Sebelum tahun 1960, ada dua macam hak
atas tanah di Indonesia yaitu hak atas tanah yang mengikuti hukum
kolonial belanda dan hak atas tanah yang mengikuti kepada hak ulayat,
pemerintah kemudian menggabungkan kedua hukum pertanahan
tersebut dengan menerbitkan UUPA (Sari dan Setyadji, 2022).
Pembaharuan UUPA pada tanggal 24 september 1960 mengharuskan
pemegang hak Eigendom Verponding untuk mengkonversi tanahnya
menjadi hak milik sebelum tahun 1980, namun karena kurangnya
informasi, kelalaian dan ketidak patuhan masyarakat, banyak ahli
waris yang memiliki bukti kepemilikan yang belum dikonversi
menganggap kepemilkan masih sah (Sari dan Setyadji, 2022).
Masyarakat lokal Dago elos merupakan salah satu korban konflik
sengketa lahan akibat hak Eigendom Verponding milik keluarga
muller. Tahun 2017, keluarga muller mengajukan gugatan kepada
masyarakat lokal dago elos untuk meninggalkan lahan dengan
dalih bahwa lahan tanah di dago elos merupakan hak milik keluarga
Seruan Keadilan Masyarakat Dago Elos: 141
Nadia Hilma Raudlah