Page 133 - Sejarah/Geografi Agraria Indonesia
P. 133

Hilmar Farid, dkk.
            Ledeboer&Co dan Mohrmaan&co. Kemudian perusahaan Amerika pada
            1927 Vegetable Oil Company ikut serta mengekspor kopra dari bandar
            Manado ke Los Angeles. Dari sistem kontrak kopra itu pihak petani men-
            dapatkan keuntungan dari pemberian pinjaman yang untuk penanda-
            tanganan kontrak bisa mencapai 2000 gulden dan kadang tengkulak bisa
            memberikan lebih untuk menjamin pemberian kopra secara kontinyu.
            Juga, penggunaan uang pada saat itu digunakan secara tertib. Pada
            umumnya hasil dari kontrak kopra dipergunakan petani untuk mem-
            perluas usaha kebun kelapa, merenovasi rumah dengan memasang gen-
            teng besi berombak dan menyekolahkan anak mereka ke sekolah Belanda
            (Lerissa 2002:319).
                Sementara itu, pihak pedagang perantara mendapatkan keuntungan
            dari kontrak kopra. Mereka bisa mengantongi keuntungan sekitar 12
            hingga 14 gulden dari setiap produksi kopra per pikul, ini pun termasuk
            ongkos pengapalan ke Manado. Bahkan pihak tengkulak bisa mengan-
            tongi keuntungan melebihi keuntungan pihak rumah dagang sebesar
            1,5 persen (Wahono 1996: 95). Pihak rumah-rumah dagang berada dalam
            ujung dari sistem kontrak itu karena dua alasan; pertama, karena rumah
            dagang sebagai penghubung ke pasar dunia, dan kedua, rumah dagang
            memandang bisnis kopra tidak mendapatkan dukungan dari dana bank.
            Juga yang penting pihak rumah dagang banyak yang mengundurkan
            diri karena pada masalah kepemilikan tanah. Dengan keluarnya Alge-
            meene Reglement 1918 yang mengatur tanah adat Minahasa tidak bisa
            dikuasai secara individu dan swasta. Melalui keputusan itu sulit untuk
            rumah-rumah dagang melangsung akumulasi kapital dengan menda-
            patkan kredit dari bank seperti yang berlangsung di perusahaan perke-
            bunan di Sumatera dan Jawa.

                Nampaknya, kesulitan pihak produsen kopra atau petani adalah me-
            nambah tenaga kerja di perkebunan dan proses kerja foefoe menjadi
            kopra. Sehingga banyak petani perkebunan kelapa sulit untuk memper-
            besar produksi kopra yang semakin bergantung dengan pasar. Juga, pihak
            petani perantara hanya berperan besar membeli produk kopra petani
            dengan harga murah dan menjual dengan harga mahal kepada rumah
            dagang. Meskipun di tahun 1930-an, di Makassar telah ada perusahaan
            124
   128   129   130   131   132   133   134   135   136   137   138