Page 172 - Sejarah/Geografi Agraria Indonesia
P. 172

Sejarah/Geografi Agraria Indonesia
                   dihukum kerja paksa, seorang bupati dikurung di Batavia karena malas,
                   dan seorang patih dipasung. Jika dipandang perlu, para penguasa yang
                   lebih rendah, mandor-mandor dan pekerja-pekerja wajib dapat dicambuk
                   dengan rotan dan dipasung supaya bekerja lebih rajin, atau agar mereka
                   tunduk-patuh. Keterangan dari sejarah menunjukkan bahwa Kompeni
                   bertindak langsung hanya terhadap para bupati, patih-patih dan wedana-
                   wedana–yakni mereka yang akan meneruskan peraturan-peraturan Kom-
                   peni ke bawah–dan barulah pada akhir abad ke 18, Kompeni bertindak
                   langsung juga terhadap kepala-kepala rendahan dan terhadap penduduk,
                   walaupun hanya sewaktu-waktu saja. Selain kepala-kepala Indonesia, juga
                   opsiner-opsiner Eropa hidup “dalam ketakutan akan dirotan”. Pada waktu
                   itu, di negeri Belanda pun keadaan masyarakatnya jauh lebih keras, kejam,
                   dan kasar daripada di jalan kita sekarang. 18
                   Sejarawan Belanda, Artur van Schaik, menerangkan tiga sistem
               penanaman kopi di sebagian besar abad 19 itu, sebagai berikut:


                   Sistem pertama adalah ‘kebun yang ditata berurutan’. Lazimnya dikerjakan
                   di tanah bukaan baru yang kaya akan materi organik, tetapi sejumlah
                   hutan sekunder dengan lahan kosong panjang (huma, oro-oro) di dekat
                   desa juga digunakan pada dasawarsa pertama. Penduduk dipaksa
                   menanam dan memelihara sejumlah khusus tanaman. Struktur tanah
                   rusak karena penyiangan yang dipraktikkan, tetapi tanaman kopi jadi
                   berproduksi setelah dua atau tiga tahun. Pelbagai pohon terus
                   menghasilkan sampai berumur 8 atau kebanyakan 15 tahun. Kemudian
                   bidang lahan lain dibuka di hutan untuk kebun berikutnya. Secara
                   teoretis, bidang yang lama digunakan lagi setelah masa kosong tertentu,
                   tetapi setelah terjadi banyak kegagalan, pendapat seperti ini ditanggalkan.

                   Alternatif lainnya ‘kopi pagar’ yang ditanam di dalam desa, di sepanjang
                   sisi jalan, dan kadang-kadang sebagai perkebunan kecil di lahan kering
                   dengan tanaman alang-alang atau glagah, atau ditanam berselang-seling
                   dengan jagung. Lahan kering ini bisa bertempat di lahan pemerintah
                   yang “dicadangkan untuk kopi” dan di lahan kecil-kecil milik penduduk.
                   Rakyat diwajibkan menyerahkan hasil sejumlah tertentu pohon kopi
                   kepada gudang pemerintah. Kopi hutan ditanam di kebun-kebun hutan

                   18  Diambil dengan perubahan redaksional seperlunya dari: D. H. Burger dan Prajudi,
               Sejarah Ekonomis Sosiologis Indonesia, jilid 1, Djakarta: Penerbit Pradnja Paramita, 1962.
               Halaman 101-102.
                                                                        163
   167   168   169   170   171   172   173   174   175   176   177