Page 174 - Sejarah/Geografi Agraria Indonesia
P. 174
Sejarah/Geografi Agraria Indonesia
Para pengawas Belanda memaksakan penanaman kopi pada tempat
yang dia inginkan, sementara petani memilih kesesuaiannya dengan
wilayah perladangan mereka. Ketika hal ini terjadi, penduduk sering
pindah dari wilayah itu. Pada tahun 1809, seorang pejabat Belanda mela-
porkan bahwa, “Saya mendesak perluasan sawah agar orang-orang dapat
memproduksi makanan yang cukup, meski bertentangan dengan kebia-
saan lama mereka, menambah beban penduduk, dan juga menyebabkan
20
penduduk pindah ke tempat lain”. Jadi, selain meluasnya perkebunan
kopi, penguasaan VOC atas menak Priangan juga membawa akibat pada
meluasnya sawah, sebagai suatu bentuk produksi pertanian menetap. 21
Budi Rajab menuliskan bahwa perluasan sawah “dari Jawa Tengah ke
Priangan terdengar tahun 1750, dari kawasan Sumedang dan Tasikmalaya,
dan setengah abad kemudian dari lembah-lembah di dataran tinggi Bogor
dan Bandung.” Selanjutnya ia menulis:
22
Pertanian sawah di Priangan muncul sebagai akibat gelombang migrasi
penduduk dari Jawa Tengah yang telah mengenal sawah sejak berabad-
abad lalu. Gelombang migrasi ini didorong, pertama, saat Priangan
berada di bawah otoritas Mataram. Raja Mataram mendistribusikan
26/12/1887-24/36, RA Pasuruan 716; Sekretaris Kolonial Komissarial kepada Raja, 8/10/
1877-4 dalam ANJ, Bt. 16/1/1879-12.
4. Kolonial Verslag 1860, 1881, 1891; Direktur BOW kepada GG, 8/3/1893-133B
dalam ARA, Mail 350/1893; Ass. Resident Preanger, 10/6/1886 dalam ANJ, Bt. 4/8/
1886-2 C.
5. Baardwijk, op.cit (1986), hal. 7.
20 Sebagaimana dimuat dalam H.R.C. Wright, East-Indian Economic Problems of The
Age of Cornwallis & Raffles, London: Luzac and Company Limited, 1961, hal. 18. Pada
waktu sebelumnya, pada tahun 1744, Gubernur Jeneral Van Imhoff telah juga memerintahkan
bahwa petani peladang harus menanam pohon buah-buahan agar menyulitkan mereka untuk
berpindah. Pembukaan sawah baru juga dilakukan untuk alasan yang sama.
21 Kusnaka Adimihardja “Pertanian: Mata Pencaharian hidup Masyarakat Sunda”,
dalam Masyarakat Sunda dan Kebudayaannya, Edi S. Ekadjati (Peny.), Jakarta, Girimukti
Psaka, 1984, hal. 181, menulis : “Berita pertama mengenai perluasan sawah ke tanah
pegunungan di Jawa Barat baru terdengar sekitar tahun 1750 di kawasan Sumedang dan
Tasikmalaya di lembah-lembah sungai kecil-kecil di perbatasan, sebelah timur dan setengah
abad kemudian di dataran tinggi Bandung dan Bogor.”
22 Budi Rajab, “Etos Kewiraswastaan pada Masyarakat Sunda di Pedesaan”, Dangiang,
Jurnal Kebudayaan Sunda, No. 01/Mei-Juli 1999. Halaman 36.
165