Page 178 - Sejarah/Geografi Agraria Indonesia
P. 178
Sejarah/Geografi Agraria Indonesia
pengalihan kekuasaan yang selama ini dipunyainya kepada Bataafsche
Republiek. Berdasar Constitutie de Bataafsche Republiek 1798, pasal 249,
dibuatlah suatu charter khusus untuk mengurus daerah jajahan yang
selesai pada tahun 1804, yang menetapkan bahwa “semua hutan di Jawa
menjadi milik pemerintah”. 31
Lalu, Gubernur Jenderal Daendels, penguasa tertinggi yang ditugas-
kan pemerintah Hindia Belanda pada waktu itu, meletakkan dasar-dasar
kelembagaan penguasaan dan pengelolaan hutan dengan membuat
instruksi-instruksi dan pedoman-pedoman bagi pegawai yang ditugas-
kan untuk menjaga dan mengurus hutan-hutan jati di Jawa Tengah dan
Jawa Timur (Pada waktu itu, wilayah Priangan belum menjadi yurisdiksi
dari kelembagaan ini). Ia juga membuat posisi-posisi baru, dan mengang-
kat pejabat-pejabat kehutanan untuk mengurus hutan di seluruh Jawa,
yang tertinggi adalah yakni inspektur-jenderal dan kemudian presiden
administrasi hutan, dan seterusnya. Dengan plakat-plakat yang ia buat
tahun 1808, seluruh administrasi dan pemangkuan hutan kayu di seluruh
pulau Jawa harus diserahkan kepada “collegie administrasi hutan kayu”.
Hal ini terutama ditujukan untuk “meniadakan peraturan sewenang-
wenang, yang memberi hak secara tidak sah kepada residen pada masa
lampau atas hutan kayu yang bernilai tinggi”, juga “untuk melepaskan
blandong dari kekuasaan dan pengaruh prefect, bukan saja untuk
mencegah konflik kekuasaan antara prefect dan administrasi hutan kayu,
tetapi juga agar mereka bebas dari pengaruh bupati atas diri pribadi
mereka. Selama pembebasan belum dilakukan, kekuasaan akan dila-
kukan sewenang-wenang”. Lebih dari itu, collegie itu juga memiliki “hak
menghukum segala kejahatan dan korupsi yang mungkin dilakukan
terhadap hutan atau salah satu bagian dari administrasi.” Dalam menim-
bang tindak pidana, untuk Collegie akan berdasar pada anggapan bahwa
“semua hutan itu adalah domein negara, dan bahwa semua penebangan
dan angkutan sortimen kayu dan perdagangannya kepada pihak partikelir
adalah terlarang, kalau kayu itu sebelumnya tidak dibeli dari pemerintah.”
31 R. Supardi, Hutan dan Kehutanan dalam Tiga Zaman, volume a, Jakarta, Perum
Perhutani 1974, hal. 20.
169