Page 173 - Sejarah/Geografi Agraria Indonesia
P. 173

Hilmar Farid, dkk.
                campuran atau sebagai kopi hutan liar. Pelindungnya tetap utuh. Kopi
                hutan produktif selama 15-26 tahun, tetapi tanaman ini buah pertamanya
                keluar agak lamban. Setelah tenggang waktu kosong yang singkat,
                beberapa bidang berhasil ditanami beberapa kali. Secara regional, terutama
                di Pasuruan, kopi pagar dan kopi hutan ditanam sukarela (monosuko).
                Pada dasawarsa 1850-an sekitar 60% pohon kopi tumbuh di kebun
                berurutan 30% kopi pagar, dan sisanya 10% adalah kopi hutan, kebanyakan
                darinya di Pasuruan. Pada beberapa dasawarsa berikutnya jumlah pohon
                kopi di kebun semakin merosot, sementara kopi pagar dan kopi hutan
                tetap stabil.

                Pemerintah lebih menyukai kebun berurutan. Lebih banyak semak-semak
                harus ditanam per hektarnya, menghasilkan lebih cepat, dan per tahunnya
                hasilnya lebih banyak ketimbang kopi hutan dan kopi pagar. Kopi ini
                sangat menarik bagi para pejabat. Karir mereka tergantung pada jumlah
                kopi yang ditanam dan pada peningkatan produksi yang diwujudkan
                selama masa jabatan mereka. Maka mereka menanam sebanyak mungkin
                pohon kopi di daerahnya yang menghasilkan sebelum mereka pindah
                ke tempat tugas lainnya. Untuk alasan yang sama, mereka tidak peduli
                terhadap kenyataan bahwa kebun berurutan harus dihapuskan setelah
                6-8 tahun produktif. Pembukaan hutan lebih banyak merupakan
                persoalan bagi pejabat pengganti. Kenyataan bahwa sistem penyiangan
                yang dipraktikkan dalam kebun berurutan memicu erosi yang lebih parah
                tidak mengganggu pejabat lokal, yang setelah beberapa tahun akan
                dipindahkan ke tempat tugas lain. 19



                19  Artur van Schaik, “Banyak Pohon Makan Lahan, Perkebunan Kopi dan Degradasi
            Lahan di Jawa abad ke-19”, Prisma 9, September 1994, hal. 83-84. Dalam naskah ini terdapat
            catatan kaki 1 –5. Isi catatan kaki tersebut sebagai berikut:
                1 . Van Gorkom, op.cit., hal. 256-257, 294; Kuulturverslag Malang 1867, ANJ, RAPI
            711.
                2.  F. Fokkens, The Great Cultures of the Isle of Java (Leiden: 1910), hal. 16; S.P.
            Ham, “Beschouwingen Omtrent den Lanbouw in het Algemeen in Verband met de
            Toestanden op Java,” Verslag Mindere Weelvaart Onderzoek, jilid 5b (1908); Baardwijk
            1986, hal. 15; Penasehat Ilmiah Penanaman Kopi, Burck kepada direktur BB, 19/4/1894-196
            dalam ANJ, MGS 11/3/1895-533; Direktur Kebun Raya, Treub kepada Sekretaris Pertama
            Pemerintah, 11/4/1892-551/b dalam ANJ, Bt 7/8/1895-12.
                3.  AV Pasuruan 1832, RA Pasuruan 22; KV Bangil 1867, RAPI 711; Memorie van
            Overgave Pasuruan 1867, RA Pasuruan 31; KV Pasuruan 1906, RA Pasuruan 69; KV
            Tengger dan KV Bangil 1895, RAPI 732; Controleur Tengger kepada Residen Pasuruan,
            164
   168   169   170   171   172   173   174   175   176   177   178