Page 180 - Sejarah/Geografi Agraria Indonesia
P. 180
Sejarah/Geografi Agraria Indonesia
di dalam negeri, telah mengancam kebangkrutan pemerintah Belanda.
Dalam usaha mengatasi kebangkrutan itu, para pejabat Belanda memi-
kirkan cara ekstraksi baru untuk memberi keuntungan pada Negara
Belanda, yaitu mengisi pasar komoditas di Eropa dengan produk dari
negeri jajahan. Van den Bosch, sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda
pada tahun 1830 memakai konsep negeri jajahan adalah “wilayah
eksploitasi Belanda”. Ia menerapkan sistem tanam paksa (forced cultiva-
tion system) sebagai modus utama untuk ekstraksi komoditas ekspor
seperti kopi, tebu, indigo, lada, dan lainnya.
Tidak seperti zaman sebelumnya ketika pemerintah Hindia Belanda
bekerja melalui VOC, sistem tanam paksa ini dilakukan langsung oleh
administrasi pemerintahan. Konsep dasar sistem ini menggunakan desa
sebagai wahana untuk mengadakan produksi, melampaui peranan bupa-
ti sebagai perantara, seperti halnya yang dilakukan VOC. Untuk pertama
kalinya, desa secara langsung menjadi unit peningkatan produksi yang
secara langsung berhubungan dengan pemerintah Hindia Belanda.
Organisasi desa dijadikan wahana penggerak yang efektif, dengan kepe-
mimpinan kepala desa, berserta segala perangkat kulturalnya seperti
ikatan solidaritas (gotong royong), ketaatan pada pemimpin dan lainnya.
Sistem tanam paksa ini didasarkan pada dua prinsip, yakni pertama,
prinsip wajib/paksa seperti yang telah dilakukan dalam preanger stelsel
atau sistem penyerahan wajib yang dilakukan oleh VOC, dan kedua, prin-
sip monopoli yang hanya memberi kewenangan kepada Netherland
Handels Maatchappij untuk produksi, pengangkutan, dan perdagangan
hasil ekspor dari Jawa. 35
Menurut sistem tanam paksa, pungutan dari rakyat bukan berupa
uang, tapi berupa panen tanaman yang dapat diekspor. Seperlima dari
tanah garapan, yang ditanami padi oleh rakyat di desa, wajib ditanami
jenis tanaman itu dengan memakai tenaga yang tidak melebihi tenaga
untuk menggarap tanah itu bagi penanaman padi. Bagian dari tanah itu
bebas dari pajak tanah, sedangkan setiap surplus dari hasil penjualan
35 Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500–1900, dari Emporium
sampai Imperium, Jakarta: PT Gramedia, halaman 305–306.
171