Page 182 - Sejarah/Geografi Agraria Indonesia
P. 182
Sejarah/Geografi Agraria Indonesia
Namun demikian, risiko ekologis dari produksi itu adalah semakin
besarnya penggundulan hutan dan kemerosotan mutu lahan. Seorang
pengamat melukiskan perkembangannya, sebagai berikut: “… hutan,
kemudian perkebunan kopi pemerintah, dan akhirnya pertanian
ekstensif, atau bahkan bukan itu tetapi hanya alang-alang liar”. …”Para
pengamat mencatat bahwa hampir seluruh alang-alang di lereng-lereng
tumbuh di bekas lahan kopi. Sejumlah pejabat menjadi khawatir dan
lebih memberi perhatian pada apa yang terjadi di Priangan, Jawa Barat
di mana pada saat itu, kopi meluas sangat cepat. Diamati bahwa setelah
penggundulan dan pembukaan hutan untuk kopi, lebih sering terjadi
banjir, tanah longsor, banjir lumpur, dan bahwa selokan-selokan
berkembang dari saluran.” 40
Preangerstelsel dihapus pada tahun 1870, saat Agrarische Wet
(bahasa Belanda yang artinya undang-undang agraria) diberlakukan.
Undang-undang agraria ini adalah anak dari paham liberalisme yang
berkembang di Eropa, khususnya Belanda, yang menilai bahwa
pengusaha swasta Belanda merasa usaha penanaman modal di negeri
jajahan mendapat rintangan. Mereka menuntut diberikan kesempatan
yang lebih besar untuk membuka dan mengembangkan perkebunan di
negeri jajahan. Tuntutan mereka mendapatkan layanan hukum cukup
panjang, hingga semakin kuat dengan adanya penyimpangan-
penyimpangan dalam sistem tanam paksa.
Isi Agrarische Wet sebagai berikut:
1. Gubernur Jendral tidak diperbolehkan menjual tanah.
2. Dalam larangan ini tidak termasuk tanah-tanah kecil untuk
perluasan kota dan desa untuk mendirikan perusahaan-perusahaan.
3. Gubernur Jenderal dapat menyewakan tanah menurut peraturan
undang-undang. Dalam peraturan ini tidak termasuk tanah-tanah
yang telah dibuka oleh rakyat asli atau yang digunakan untuk
penggembalaan ternak umum, ataupun yang masuk lingkungan desa
untuk keperluan lain.
40 Artur van Schaik, Op. Cit, halaman 86.
173