Page 187 - Sejarah/Geografi Agraria Indonesia
P. 187

Hilmar Farid, dkk.
            dijumlahkan dengan petani miskin menjadi 65% dari seluruh penduduk
            desa. Nampak pula perbedaan yang mencolok antara pendapatan dan
            golongan pekerjaan. Orang yang menggantungkan diri pada pekerjaan
            perkebunan dari seluruh penduduk desa adalah golongan pekerja pada
            perkebunan dan buruh, yang berjumlah 24%.

                Meluasnya usaha-usaha perkebunan modal asing disertai dengan
            tekanan pajak besar dan kerja wajib bagi rakyat pedesaan. Realitas kehi-
            dupan petani makin buruk karena pencaplokan tanah mereka, tekanan
            pajak dan pengerahan tenaga kerja wajib tersebut. Pada kalangan petani,
            paduan ketiganya menciptakan kemiskinan yang tak dapat diterima lagi
            dan suasana ketidakpuasan yang berujung pada pemberontakan petani.
            Oleh elite-elite tradisional, ketidakpuasan tersebut disuarakan melalui
            ideologi tandingan guna menciptakan kembali situasi seperti sebelum
            adanya campur tangan agroindustri ke pedesaan.

                Ciri-ciri yang ditemukan pada semua perlawanan petani, berupa
            gerakan sosial, adalah: milerianisme (ajaran-ajaran akan datangnya
            zaman keemasan), mesianisme (kepercayaan pada ratu adil), nativisme
            (gerakan untuk kembali ke adat kuno), dan perang suci (ajaran-ajaran
            untuk berjihad). Unsur-unsur ideologis ini tidak dapat dibedakan secara
            tegas. Dalam setiap pemberontakan kaum petani, senantiasa terdapat
                                             44
            keempat ciri tersebut secara bervariasi .
                Timbulnya perlawanan petani ini merupakan perlawanan terhadap
            sistem ekonomi-politik kolonialisme, khususnya sistem ekonomi
            perkebunan, pajak dan penindasan lain, yang telah menyengsarakan
            mereka. Perlawanan ini berlangsung sepanjang mulai diterapkannya
            perkebunan 1830 hingga berakhirnya kolonialisme Belanda. Bentuk-
            bentuk resistensi ini bervariasi, mulai dari yang bersifat demonstrasi saja
            (seperti peristiwa Cimareme 1919) hingga yang bersifat pemberontakan
            (seperti pemberontakan petani Banten 1888), mulai dari yang tergolong
            spontan (seperti peristiwa Entong Gendut 1916) hingga tergolong teror-
            ganisir (seperti Pemberontakan Sarekat Islam Lokal). Sejak kolonialisme



                44  Sartono Kartodirdjo, Ratu Adil, Jakarta: Sinar Harapan, 1984, halaman 37-85.
            178
   182   183   184   185   186   187   188   189   190   191   192