Page 75 - Sejarah/Geografi Agraria Indonesia
P. 75

Hilmar Farid, dkk.
            tuhan pangan. Kelompok petani miskin itu telah menjauhi dari mana-
            jemen perusahaan dan serikat buruh. Mereka mendapatkan nafkah
            dalam dua pekerjaan yang tidak tetap. Pertama, mendapatkan nafkah
            hidup dari tanah pertanian mereka, dan kedua, memperoleh pemasukan
            dari bekerja lepas di perkebunan. Mereka tidak mempunyai komitmen
            dengan perjuangan serikat buruh.

                Kaum buruh perkebunan semakin pandai memainkan senjata
            mereka. Sebaliknya, pihak perkebunan mulai membenahi senjata mereka
            untuk menghadapi kaum buruh. Pihak perusahaan perkebunan menitik
            beratkan pada perbaikan proses produksi. Perusahaan menggenjot
            produktifitas buruh melalui potongan-potongan kerja. Berarti memper-
            ketat shift-shift kerja buruh dalam satu minggu. Juga, organisasi perusa-
            haan melakukan pendekatan dengan pihak pemerintah untuk masalah
            peraturan pekerjaan dan perselisihan perburuhan.

                Namun demikian, pada 1951 telah diselenggarakan undang-undang
            keadaan darurat dan pelarangan mogok pada perusahaan vital. 67
            Undang-undang itu membuat aktifitas Sabupri dibatasi untuk memo-
            bilisasi buruh. Kemudian, beberapa perusahaan perkebunan asing telah
            mulai mencium nasionalisasi akan dilakukan, maka mereka memper-
            siapkan untuk memindahkan saham-saham mereka. Perusahaan
            Handels Vereeniging Amsterdams (HVA) sudah sejak  tahun 1951
            melakukan investasi di Ethiopia seluas 70.000 hektar. Kemudian
            konsorsium perkebunan Belanda tahun 1952 telah memindahkan
            sahamnya dibeberapa negara Afrika seperti Ghana, Tanganyika dan di
            Amerika Latin seperti Kolumbia, Panama dan Liberia. Pada 1962, mereka
            telah mempunyai perkebunan karet, kelapa sawit, coklat dan sisal di
            negeri-negeri yang disebutkan di atas.

                Kemudian, pada 1957 berlangsung nasionalisasi perusahaan-
            perusahaan asing dengan dikuasainya 171 dari 217 perkebunan. Sekitar


                67  Peraturan keadaan darurat itu hanya disahkan melalui kabinet, tidak disahkan
            oleh parlemen. Untuk hal ini lihat. Iskandar Tedjasukmana. The Political Character of
            the Indonesian Trade Union Movement (Ithaca: Cornell Modern Indonesian Project,
            1958), hlm., 12.
            66
   70   71   72   73   74   75   76   77   78   79   80