Page 73 - Sejarah/Geografi Agraria Indonesia
P. 73

Hilmar Farid, dkk.
            dan jam kerja hanya 7 jam atau 40 jam satu minggu. Dengan adanya
            Sabupri maka perjuangan buruh peningkat dengan pesat, pemogokan-
            pemogokan buruh menuntut ketepatan waktu pembagian jatah beras,
            menuntut pengangkatan buruh tetap dan buruh perempuan berhak
            mendapatkan cuti haid dan hamil. Kadangkala pemogokan bisa berlang-
            sung satu hingga dua minggu yang berakibat tanaman tembakau terse-
            rang hama. Demikian pula, tanaman kelapa sawit dan karet yang tidak
            tepat waktu dipanen dan disadap akan memerosotkan kualitas minyak
            mentah sawit dan lateks. Akibat terlantarnya semua itu, perusahaan
            mengalami kerugian jutaan dollar.

                Pada awalnya aksi-aksi pemogokan buruh itu dapat diseimbangkan
            dengan berdirinya Persatuan Buruh Perkebunan Republik Indonesia
            (Perpubri) yang hanya ada di perkebunan besar pantai timur Sumatera.
            Sebenarnya Perpubri hanya kelompok krani Batak. Organisasi Perpubri
            menyangkal kegiatan politik dengan masalah hubungan perburuhan
            perkebunan. Serikat buruh Perpubri juga menggalang hubungan baik
            dengan perusahaan-perusahaan perkebunan daripada dengan serikat
            buruh-serikat buruh lainnya. Kemudian cara lain untuk menyeimbang-
            kan politik serikat buruh perkebunan adalah dengan menghidupkan
            kembali organisasi vertrouwensmannen. Organisasi penghubung antara
            majikan dan buruh seperti DPV untuk perkebunan tembakau dan
            AVROS untuk perkebunan tanaman keras. Pada 1951, kedua organisasi
            itu dilebur menjadi satu, AVROS yang tampil sebagai wakil manajemen
            dalam perundingan dengan wakil serikat buruh regional maupun
            nasional.

                Pada 1950-an perusahaan perkebunan masih kekurangan tenaga
            kerja. Kemudian, AVROS melancarkan kampanye dan dibantu oleh
            pemerintah dengan kebijakan yang ketat dalam memecahkan masalah
            ini. Pada 1951 dan 1952 dilakukan pengiriman tenaga kerja dari Jawa
            sebesar 25.000 buruh bersama dengan 41.000 anggota keluarganya yang
            mendapatkan jaminan pemulangan kembali ke Jawa. Buruh-buruh dari
            Jawa itu bekerja diperkebunan dengan kontrak selama 3 tahun. Masalah
            produksi perkebunan bisa sedikit diatasi dengan adanya tenaga kerja
            baru, terutama untuk perkebunan teh dan sisal yang tidak digarap selama

            64
   68   69   70   71   72   73   74   75   76   77   78