Page 70 - Sejarah/Geografi Agraria Indonesia
P. 70

Sejarah/Geografi Agraria Indonesia
                   Menjelang akhir kekuasaan kolonial di Sumatera, pemerintah
               mendesak-kan untuk menanam lebih banyak kebutuhan pangan untuk
               cadangan keadaan sulit akan pecahnya perang. Kebutuhan pangan
               cultuurgebied sangat bergantung pada pasokan dari seberang lautan dan
               dikhawatirkan pecahnya perang akan kesulitan transportasi laut.
               Perusahaan perkebunan mendukung gagasan itu dengan memberikan
               tanah tembakau di Langkat, Deli dan Serdang seluas 45.000 hektar.
               Kemudian, perkebunan tanaman keras memberikan 37.500 hektar untuk
               ditanami produksi pangan.  Kemudian, pada masa pendudukan Jepang
                                     61
               hamparan perkebunan di pantai timur Sumatera tetap seperti sediaka-
               lanya hingga akhir tahun 1942. Pendudukan Jepang berupaya melanjut-
               kan cultuur-gebied itu sebagai modal untuk melakukan peperangan di
               pasifik. Akan tetapi di tahun 1943 rencana ini diberjalan karena banyak
               kapal-kapal Jepang dihancur-kan tentara sekutu. Balatentara Jepang
               membutuhkan cadangan pangan yang besar bagi peperangan di pasifik,
               mereka memerintah buruh-buruh perkebunan untuk tetap tinggal di
               kawasan perkebunan untuk mengolah perkebunan menjadi bahan
               pangan. Hampir 200.000 hektar lebih perkebunan tembakau diperin-
               tahkan tentara Jepang ditanami padi, jagung dan umbi-umbian. Para
               petani yang mengolah pertanian itu adalah bekas buruh-buruh kebun
               masa kolonial Belanda. Pada masa panen, mereka diwajibkan untuk men-
               jual kepada Jepang dengan harga murah. Harga yang murah itu hampir
               sama pendudukan Jepang melakukan perampasan.  Juga, hampir 180.000
               buruh perkebunan dipaksa untuk menjadi tenaga romusha di Birma dan
               Siam dan banyak dari mereka yang tidak kembali. Pemerintahan pen-
               dudukan Jepang memberikan manajemen perusaha-an perkebunan
               kepada krani-krani orang Batak yang mempunyai pengetahuan kelas dua
               sebagai administratur perkebunan. Sementara, administratur Belanda,
               telah melarikan diri ke Australia atau dipenjarakan Jepang. 62
                   Setelah kekalahan Jepang pada 1945, perkebunan-perkebunan besar
               pantai timur Sumatera menjadi ruang geografi politik yang kritis.



                   61  Ibid., M. Said. Koeli Kontrak tempo doeloe, hlm. 30.
                   62  Ibid., M. Said. Koeli kontrak tempo doeloe. hlm, 45.
                                                                         61
   65   66   67   68   69   70   71   72   73   74   75