Page 84 - Sejarah/Geografi Agraria Indonesia
P. 84
Sejarah/Geografi Agraria Indonesia
mengumpulkan hasil hutan berupa damar, rotan, dan sarang burung
untuk dipertukarkan dengan barang konsumsi lain dengan orang Mela-
yu. Kedatangan orang Tionghoa ke Kalimantan Barat khususnya telah
mengubah orientasi hubungan ekonomi dan sosial orang Dayak dengan
orang Melayu atau penguasa setempat. Selain itu, orang Dayak juga
mendapat pengetahuan tentang metode pertanian dari orang Tionghoa.
Aktivitas di pertambangan misalnya tak dapat dipisahkan dari orang
Tionghoa sebagai bagian penting dalam penambangan. Mereka mulai
datang ke Kalimantan, khususnya ke bagian barat, sejak sekitar perte-
ngahan abad ke-18. Ada dua kelompok orang Cina yang datang terutama
ke Kalimantan Barat yaitu orang Teochiu dan Hakka. Jika orang Teochiu
menetap di sekitar kota dan beraktivitas sebagai pedagang, maka orang
Hakka tinggal di pertambangan dan berprofesi sebagai petani. Dalam
hal kebutuhan tenaga kerja di pertambangan, kongsi menjadi mata rantai
penting penyediaan tenaga kerja di sektor ekonomi ini, termasuk perek-
rutan dan biaya perjalanan para tenaga kerja ini dari daratan selatan
Cina hingga tiba di Kalimantan. Mereka bekerja di pertambangan emas
milik sultan. Kongsi sebagai organisasi sosial di kalangan orang Tionghoa
itu dibentuk para penambang ini dengan tujuan ekonomi, sosial, dan
lebih jauh politik yakni memperkuat posisi orang Tionghoa dan penam-
bang emas berhadapan dengan penguasa setempat atau Melayu dan or-
ang Dayak. Sejak aktivitas pertambangan terus meningkat, buruh Cina
di sektor pertambangan ini menempati wilayah sekitar Sungai Sebang-
kau, Selakau, Raja, dan Duri. Hingga akhir abad ke-18 kontrol penguasa
Melayu masih efektif terhadap orang Tionghoa di wilayah pertambangan
Kalimantan Barat, namun sesudah itu mereka harus bersaing atau
menghadapi kongsi yang jumlahnya terus bertambah. Adapun kongsi
utama yang menguasai wilayah pertambangan di Kalimantan Barat
terdiri dari kongsi Samtiaokioe, Limtian, Sjipngfoen, Sinwoek, Hang
Moei, Thaikong (Fosjoen), Manfo, dan Lanfang. 5
5 Heidhues, ibid., hlm 43-47; Muhammad Gade Ismail. “Trade and State Power:
Sambas (West Borneo) in Early Nineteenth Century,” dalam Trade and State in the
Indonesian Archipelago. Leiden: KITLV Press, 1994, G.J. Schutte (ed), hlm 141-149.
75