Page 270 - Berangkat Dari Agraria
P. 270
BAB VII 247
Geliat Kebijakan Kehutanan
Kilasan masalah
Pelepasan kawasan hutan tidak mungkin dilakukan secara
hukum di wilayah yang luas kawasan hutannya di bawah 30%.
Sehingga semua provinsi di pulau Jawa, Bali dan Lampung menjadi
wilayah “terlarang” bagi pelepasan kawasan hutan. Limitasi ini
tertuang dalam UU No. 41/1999 tentang Kehutanan. Padahal,
kenyataannya di provinsi-provinsi inilah mayoritas potensi subyek
reforma agraria berada. Warga miskin yang membutuhkan tanah
untuk keluar dari kemiskinannya sebagian besar persis berada di
wilayah ini.
Belum lagi fenomena tidak sinkronnya kebijakan kehutanan
yang cenderung bersemangat konservasionis dengan kebijakan
pertanahan yang mengutamakan kemanfaatan ekonomis. Sejumlah
kasus ditemukan, kriminalisasi pejabat pertanahan gara-gara
menerbitkan sertipikasi atau legalisasi pemilikan tanah di atas
tanah yang diklaim sebagai kawasan kehutanan. Hal ini memicu
ketegangan antar instansi yang memerlukan penanganan serius dan
tuntas.
Demikian pula dengan pelaksanaan kegiatan perhutanan sosial
untuk membuka akses pemanfaatan dan pengelolaan kawasan
hutan negara masih perlu didorong, termasuk penetapan hutan adat
sebagai bagian dari wilayah adat dari masyarakat adat. Perhutanan
sosial penting dijalankan di luar lokasi yang pada kenyataannya sudah
menjadi ruang hidup dan wilayah kelola rakyat selama bergenerasi.
Pemukiman atau perkampungan dan lahan garapan yang sudah
menjadi sawah, ladang atau kebun penduduk secara sosial ekologis
tidak lagi relevan untuk dijadikan area perhutanan sosial. Negara
punya tugas konstusional untuk mengakui hak atas tanah di dalam
kawasan hutan menjadi hal milik rakyat.
Dalam sejumlah kasus, kebijakan kehutanan kerap tidak
kompatibel dengan posisi dan peran warga masyarakat yang hidup di
dalam atau di sekitar hutan. Kasus konflik agraria di sektor kehutanan
menggambarkan ini. Dari 860 kasus konflik agraria yang dilaporkan
KSP (2020), 218 kasus (20%) berada di dalam kawasan hutan. Khusus