Page 272 - Berangkat Dari Agraria
P. 272
BAB VII 249
Geliat Kebijakan Kehutanan
dalam kawasan hutan perlu ditangani secara bijaksana. Belum lagi,
sekitar 25.863 desa yang disinyalir berada di dalam kawasan hutan
dengan 9,2 juta rumah tangga.
Membajak krisis
Sejujurnya, perspektif eco-facism yang mengeksklusi penduduk
dari dalam kawasan hutan harus dihentikan. Hal ini, bukan hanya
guna mencari jalan penyelesaian konflik agraria di dalam kawasan
hutan, tetapi juga untuk mengakui dan melindungi hak-hak
konstitusoinal warga negara. Kemauan politik Presiden Jokowi untuk
mempercepat penyelesaian penguasaan tanah di dalam kawasan
hutan yang telah dituangkan melalui Perpres 88/2017 saatnya untuk
dievaluasi efektivitasnya dalam menyelesaikan masalah di lapangan.
Perbaikan regulasi tentang penyelesaian konflik agraria di dalam
kawasan ini hendaknya sinergi dengan pembaruan legislasi di
atasnya.
Revisi Undang-Undang Kehutanan yang sudah menjadi
program legislasi nasional relevan untuk dilakukan dalam konteks
penyediaan kerangka hukum yang responsif terhadap dinamika
sosial masyarakat yang berkembang. Pandemi Covid-19 membuka
momentum untuk memperbarui legislasi dan regulasi terkait agraria
dan pengelolaan kekayaan alam, termasuk kehutanan. Dalam pidato
kenegaraan di MPR, Presiden mengajak kita untuk membajak krisis
akibat pandemi menjadi momentum bagi perubahan. Krisis jadi
peluang bagi lompatan kemajuan.
Arah pembaruan dari kebijakan kehutanan, selain untuk
menyelesaikan polemik antara birokrasi kehutanan dengan
pertanahan, juga mesti mengarah pada penyelesaian konflik dengan
warga setempat. Hal ini dapat menjadi landasan dari kebijakan
antisipasi terhadap pemanasan global dengan mengatasi pemanasan
lokal berupa konflik tenurial. Hukum harus tunduk pada konsensus
baru yang diproses di parlemen dan pemerintahan dengan
melibatkan masyarakat. *