Page 278 - Berangkat Dari Agraria
P. 278
BAB VII 255
Geliat Kebijakan Kehutanan
Kemauan politik diperlukan agar ada terobosan hukum agar
tanah-tanah masyarakat adat diakui. Implementasi Permen ATR/
Kepala BPN No 10/2016 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal
atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat yang Berada
dalam Kawasan Tertentu perlu diefektifkan. Sementara itu,
pengakuan hutan adat sebagai bagian wilayah adat dilakukan K-LHK
melalui kegiatan Perhutanan Sosial sebagai kegiatan prioritas
presiden.
Capaian pengakuan tanah dan hutan adat menunjukkan
akomodasi masyarakat adat yang masih rendah. Bagi Yando, jika
mengikuti tiga logika hukum dalam pengajuan hak masyarakat adat,
sama saja dengan “membunuh” masyarakat adat.
Makna kemerdekaan
Perlu dipahami konsepsi dasar sistem tenurial yang berlaku pada
masyarakat adat. Yando menjelaskan sistem hak tenurial atas tanah
atau sumberdaya alam. Meminjam Noer Fauzi dan Dianto Bachriadi
(1998), sistem hak tenurial sekurang-kurangnya terbangun atas
interaksi subjek hak, objek hak, dan jenis hak.
Subjek hak adalah pemangku hak atau pada siapa hak tertentu
dilekatkan. Objek hak adalah suatu benda yang bisa saja berupa
suatu persil tanah, barang-barang atau benda yang tumbuh di atas/
di dalamnya. Jenis hak merujuk perbedaan dan pembatasan yang
melekat pada hak-hak yang merentang dari hak milik, hak sewa
hingga sekedar hak pakai dan lainnya.
Konsep-konsep dasar penelitian antropologi Yando merujuk
pemikiran Koentjaraningrat yang Bapak Antropologi Indonesia.
Pengalaman Gunawan Wiradi yang Bapak Reforma Agraria
Indonesia, mewarnai metode dan teknik pengkajian agraria yang
dikembangkan buku ini. Langkah pengkajian lapangan, uraian
gender dan tata kelola hutan, disajikan dalam studi etnografi Yando.
Hemat penulis, kebijakan negara yang paling ideal adalah UU
khusus yang mengakui, menghormati, melindungi dan memajukan
masyarakat adat seperti amanat Konstitusi (Pasal 18B) dan agenda