Page 196 - Masalah Agraria Sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia
P. 196
Masalah Agraria di Indonesia
hanya diperkenankan memetik hasil tanaman yang ada pada
waktu itu.
Menjual sawah dan ladang harus dengan setahu Parenge’
dan saksi-saksi. Penjualan yang besar perlu juga dihadiri oleh
Puang atau Ma’dika, Tanduk Patta dan Parenge’ serta diharus-
kan memotong seekor kerbau untuk dipersembahkan kepada
Puang Matua atau Dewata. Pembayaran harus dilakukan di
hadapan pembesar-pembesar tersebut dan pembayarannya
pun boleh dihutang. Kebanyakan bibit untuk tahun yang akan
datang sudah termasuk dalam harga pembelian tanah itu.
Sawah yang sudah ditanami hanya boleh dijual kalau padinya
telah selesai dituai.
Uang untuk saksi sewaktu menjual sawah, ladang, ataupun
untuk jual beli barang-barang lainnya, biasanya ditentukan
dengan satuan ringgit yang disesuaikan dengan harga kerbau.
Jika barang atau sawah harganya 3 ekor kerbau, maka uang
saksi sebesar tiga ringgit.
Penjualan atau penggadaian sawah, ladang atau kerbau
lebih dulu harus dicari pembelinya di antara keluarga dan
orang sekampungnya. Peraturan ini harus dijalankan. Jika ti-
dak dituruti, yaitu kalau menjual, mengggadaikan atau mema-
rokan kepada orang lain kampung, sedang di antara keluarga
atau orang kampunganya bersedia membeli atau menggadai-
nya, maka pembelian atau penggadaian itu tidak sah.
Sebidang tanah yang dimiliki oleh lebih dari satu orang,
masing-masing boleh menjual bagiannya. Untuk pemilik tanah
yang akan meninggalkan desanya (di luar daerah Ma’kale dan
Rantepao) maka sawahnya harus diserahkan kepada keluar-
ganya, dengan memberitahukan kepada Parenge’. Jika tidak,
maka sawahnya akan diambil oleh Puang atau Parenge’ sampai
175