Page 201 - Masalah Agraria Sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia
P. 201
Mochammad Tauchid
wai-pegawai serta sekalian prajurit ke ibu kota, mendesak
penduduk asli di situ. Sebagaimana juga waktu berdirinya
keraton Surakarta beberapa tahun sebelumnya, orang-orang
desa Solo terpaksa meninggalkan tempat kediamannya untuk
keperluan keraton itu (wong cilik ing desa Sala kinen ngalih
marang ing desa liyan sami, oreg samya boyongan = orang-
orang penduduk desa Sala disuruh pindah ke desa lain, dan
berduyun-duyun mereka berpindah meninggalkan desanya.
Penempatan pegawai-pegawai raja di ibu kota diatur me-
nurut golongan pekerjaannya (Jawatannya) dan merupakan
kampung tersendiri. Ada 8 golongan yang kesemuanya
dikepalai oleh seorang Bupati Nayaka (Menteri) yaitu bagian
Dalam (reh lebet) dan Luar (reh Jawi). Masing-masing terdiri
dari: Gedong Kiwa, Gedong Tengen, Keparak Kiwa, Keparak
Tengen (keempat ini masuk reh lebet); Panumping (kanan),
Bumijo (kanan), Sitiwesu (kiri) dan Numbakanyar (kiri),
semuanya masuk: reh Jawi (luar). Dua di antara 4 bupati reh
Jawi seorang bagian kanan dan seorang bagian kiri berpangkat
Lurah (kepala). Dua bagian berpangkat bekel. Bekel lebih
rendah dari Lurah. Hanya Bupati Nayaka yang berpangkat
lurah itu boleh memanggil patih dengan panggilan Ki Lurah.
Ke empat Bupati Nayaka dalam semuanya sama pangkatnya,
sama dengan Lurah untuk Bupati luaran (reh jawi). Adminis-
tratif mereka di bawah seorang di antara mereka yang tertua,
yang dinamakan “Parentah”.
Kecuali 8 golongan yang tersebut di atas, terdapat lagi
golongan lainnya yaitu: Kepatihan, Kadipaten, Pengulon, Kori,
Taman, Prajurit, Jaksa, Gladag, dan Mahosan. Pada tahun 1921
didirikan kawedanan baru yang bernama “Kawedanan Kriya”
yang mengumpulkan semua golongan kriya (teknisi) yang
180