Page 198 - Masalah Agraria Sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia
P. 198
Masalah Agraria di Indonesia
untuk yang mempunyai sawah. Malah ada pula yang lebih
kecil lagi, bagi yang menggarap hanya mendapat sepertiga
dari hasil. Hal ini tergantung dengan berat ringannya pengga-
rapan sawah serta banyak sedikitnya sawah yang diparokan
dibanding banyaknya orang yang minta.
Ada lagi kebiasaan yang lain, seperti pemaro membayar
upah dan memberikan kepada orang yang mengerjakan. Untuk
ini diperhitungkan nanti saat mengambil hasil padinya yaitu
10 sampai 100 gedeg menurut besar kecilnya. Padi ini dina-
makan pangrakan, gunanya untuk memberi makan kepada
orang yang menuai, lebihnya boleh diambil sendiri.
Bila sawah yang akan diparokan itu kosong selama satu
tahun atau lebih, pemilik tidak menerima hasil selama waktu
yang sama dengan lamanya tanah itu kosong. Peraturan ini
dinamakan mabaka.
Hak Tanah di Kota Yogyakarta
Di daerah Yogyakarta, terdapat hak tanah yang ada di
dalam kota yang itu berbeda dengan tanah yang ada di luar
kota, terutama tanah pekarangan. Sekalipun tidak terlalu pen-
ting bagi kemakmuran rakyat, namun pengetahuan tentang
ini dianggap perlu untuk sekedar mengetahui bagaimana ma-
cam-macam hukum tanah menurut adat yang berlaku.
Tanah dinyatakan sebagai kepunyaan raja (Sultan). Dalam
akte jual-beli tanah, dinyatakan tanah kagungan dalem (milik
Raja). Orang-orang yang mendiami dinyatakan sebagai orang
yang berhak atas rumah dan tanamannya (griya saktanem
tuwuhipun, rumah dan tanaman-tanamannya). Untuk tanah
pekarangan dinyatakan dalam perjanjian, dengan perjanjian
ngenggèni (hak mendiami). Penjualan rumah tidak disertai
177