Page 208 - Masalah Agraria Sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia
P. 208
Masalah Agraria di Indonesia
dan ada yang tidak masuk dalam golongan itu (pengindung
kawedanan) meninggal dunia, maka hak pekarangan (hak
menumpang) biasaannya jatuh kepada ahli waris (anak laki-
laki yang tertua). Dia berkewajiban memberi bagian kepada
waris yang berhak lainnya. Kalau dia tidak dapat mengganti
uang bagian itu, hilanglah hak untuk menerima pusaka itu.
Tanah pekarangan jabatan itu tidak hanya mungkin, bah-
kan seringnya dijual. Pernah pada tahun 1887 Residen mengu-
sulkan kepada Sultan VII melalui Rijksbestuurder, agar selan-
jutnya jangan lagi memperbolehkan menjual pekarangan
jabatan. Sultan dapat menyetujui usul ini, tetapi dalam penga-
dilan telah ditetapkan bahwa penjualan pekarangan dalam
kota diperkenankan. Penjualan ini diperkenankan dengan per-
janjian bahwa pembeli hanya berhak mendiami (hak memakai)
dengan izin kawedanan. Larangan itu dianggap tidak perlu.
Untuk penjualan ini memerlukan izin kawedanan. Pembeli
tanah pekarangan, kalau dia abdidalem yang sudah mempu-
nyai tanah pekarangan jabatan dengan pekarangannya yang
baru dibeli itu, maka dia berkedudukan sebagai indung cang-
kok, di samping dia menjadi cangkok sendiri di atas pekarangan
jabatan yang sudah didiami. Jadi dia sebagai cangkok di atas
pekarangannya sendiri, dan menjadi indung cangkok dengan
pekarangannya yang baru dibeli. Sebagai indung ia mem-
punyai kewajiban-kewajiban kepada kawedanan (kepala
cangkoknya), yang dapat diganti dengan uang (duwit penang-
galan). Kalau pembeli itu seorang Indonesia, membayar
kepada kawedanan, tetapi kalau pembeli itu bukan orang Jawa
(Indonesia), ia harus membayar kepada kerajaan (Rijk). “uang
meteran’, f 0,01 tiap-tiap meter persegi. Pemerintah (Negeri),
turut campur juga dalam urusan penjualan ini, Bupati polisi
187