Page 213 - Masalah Agraria Sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia
P. 213
Mochammad Tauchid
oleh “pengadilan daerah dalem kepatihan” (pengadilan untuk
keluarga raja) atas perkara keluarga tingkat ketiga dan
keempat. Seorang indung mendakwa seorang patuh karena
penolakan atas maksud indung untuk menjual tanah yang
ditumpanginya. Tuduhan indung ditolak oleh pengadilan.
Patuh tidak boleh mengusir indung dengan begitu saja,
kecuali jika indung melakukan kesalahan (tidak memenuhi
kewajibannya), dan bilamana perlu bisa meminta keputusan
Balémangu. Banyak juga terjadi, patuh cangkok membeli hak-
hak indung untuk maksud mencari untung, dengan kemudian
menjual lagi kepada orang lain (grondspeculatie).
Seorang indung yang menjual pekarangannya harus
mengikuti peraturan penjualan lainnya. Pembeli tanah itu
menjadi indung dengan memiliki kewajiban-kewajiban kepada
patuh seperti yang sudah-sudah. Pembeli tanah ini harus mem-
bayar pulasi 5% dari harganya. Untuk patuh 2/3, dan untuk
polisi yang 1/3 nya.
Jika Indung tanah kasentanan meninggal, maka anak laki-
laki tertua berhak menerima hak orang tuanya (mendiami
pekarangannya). Biasanya memerlukan pengesahan dari
patuh, namun biasanya dengan sendirinya ia mendapatkan
hak itu. Kalau terdapat dua ahli waris, maka patuh yang memu-
tuskan. Tanam-tanaman dan rumah dipusakakan kepada ahli
warisnya yang akan mendiaminya, tetapi dia harus melelang
dengan mengganti uang bagian kepada ahli waris lainnya.
Terhadap indung yang baru (orang Eropa umpamanya) sering
diadakan perjanjian istimewa yaitu dengan meminta “be-
bingah”. Ada juga tanah kesentanan yang secara administra-
tif masuk dalam urusan kampung golongan. Untuk tanah sema-
cam ini urusan tanah harus berhubungan dengan kawedanan.
192