Page 217 - Masalah Agraria Sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia
P. 217

Mochammad Tauchid

                Tanah ini terbentuk karena beberapa sebab, antar lain:
            a. sejak berdirinya kota Yogyakarta, ada tanah-tanah yang
              tidak  terpikirkan oleh kebanyakan orang (biasanya di se-
              panjang tepi sungai) lalu oleh masyarakat digunakan dengan
              tidak mempunyai hubungan dengan salah satu macam tanah
              lainnya,
            b. karena perluasan kota, pekarangan desa tidak termasuk da-
              lam tanah golongan atau lungguh, dan terus berdiri sendiri,
            c. karena tanah-tanah yang dibeli oleh kerajaan atau pengha-
              pusan tanah lungguh dan tanah itu tidak lagi diberikan kepa-
              da seseorang, dan penduduk yang tinggal di tempat itu
              (orang-orang Tiongoa di Kranggan) disuruh membayar.
                Terhadap tanah semacam itu, Kerajaan sebagai patuh
            penduduk harus membayar “uang penanggalan” (pengganti
            kewajiban bekerja dan penyerahan hasil kepada patuh), pajak
            kepala (pajek sirah, hoofgeld) sebagai pengganti kewajiban
            polisi dan pemeliharaan jalan dikenakan kepada segenap orang
            yang mempunyai pekarangan. Kadang-kadang juga harus
            membayar semacam pajak tanah (verponding), dan untuk
            penduduk yang bukan bangsa Indonesia (bukan orang Jawa)
            membayar “uang meteran”, yaitu 1 sen tiap-tiap meter persegi.
                Peraturan mengenai hak-hak tanah seperti yang tersebut
            di atas belum ada. Peraturan tersebut abru muncul akhir-akhir
            karena terjadinya penjualan tanah semacam itu di kampung
            Cokrokusuman. Ketika itu pihak polisi tidak dapat memutus-
            kan, maka diadakan peraturan mengenai tanah semacam itu.
                Tanah semacam itu dapat dijual dengan persetujuan polisi
            dan “lilah” (izin) dari kerajaan. Uang saksi dibagi antara polisi
            dan Negeri. Dalam dawuh disebutkan juga tentang pengga-
            daian tanah (sadé séndé), yang kemudian tidak diperbolehkan

            196
   212   213   214   215   216   217   218   219   220   221   222