Page 214 - Masalah Agraria Sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia
P. 214
Masalah Agraria di Indonesia
Penjualan tanah kasentanan memerlukan izin dari kawedanan.
Dalam hal demikian, maka pembagian uang pulasi; 1/3 untuk
patuh, 1/3 untuk kawedanan, dan 1/3 untuk polisi.
Selain tanah-tanah golongan dan tanah kasentanan seperti
diuraikan di atas, ada lagi tanah-tanah pekarangan di kam-
pung-kampung yang didiami oleh Bupati atau pegawai tinggi
lainnya. Pekarangan ini dulu masuk tanah golongan, tetapi
kemudian memisahkan diri dari lingkungan golongan. Seperti
halnya tanah kesentanan, maka di samping pekarangan yang
didiami sendiri oleh Bupati atau pegawai tinggi itu, terdapat
pekarangan kecil-kecil yang didiami oleh penduduk di seke-
lilingnya. Penduduknya bernama, “mager sari” (penduduk
dalam lingkungan pagar tembok yang indah). Tanah ini dibe-
rikan kepada Bupati atau pegawai tinggi dengan hak mendiami
dan hak atas tanaman dan rumah. Tanah ini dapat diberikan
kepada penggantinya dengan tidak membayar apa-apa, jika si
pemegang dilepas dari jabatannya atau meninggal. Selain itu,
tanah ini dapat juga diberikan kepada keluarga Bupati dengan
hak memakai (familie gebruiksrecht).
Di dalam Pekarangan Patih di Danurejan terdapat banyak
indung cangkok, sebab Patih sendiri yang menjadi patuh. Kyai
penghulu di kampung Kauman (Kauman pengindungan) seba-
gai apanage. Sedangkan yang lainnya masuk golongan dan
yang termasuk menempati di sana adalah abdi dalem mesjid.
Pekarangan Danurejan dan Pengulon semuanya dulu peka-
rangan jawatan.
Kemudian banyak pekarangan-pekarangan Bupati sema-
cam itu yang dibeli oleh Sultan dan dijadikan tanah kongsén,
lalu diberikan kepada Bupati selama masa jabatannya. Tanah
kasentanan-pun dapat dijadikan tanah kongsen dan ditempati
193